Aturan Pajak Baru untuk BUT

Senin 08-04-2019,17:00 WIB
Reporter : Dedi Haryadi
Editor : Dedi Haryadi

JAKARTA-Regulasi baru mengenai pajak untuk Badan Usaha Tetap (BUT) telah disahkan oleh pemerintah. Kebijakan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 35/PMK.03/2019 tentang BUT, dan berlaku mulai 1 April 2019 lalu. Poin utama yang diusung dalam aturan tersebut adalah definisi BUT yang didetailkan. Antara lain, perusahaan asing yang mempunyai manajemen, kantor cabang, pabrik, bengkel, gudang, hingga wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi di Indonesia. Orang pribadi dan perusahaan yang menjalankan usaha internet di Indonesia juga akan ditetapkan sebagai BUT. Para BUT tersebut nantinya harus menyerahkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) kepada pemerintah setelah sebulan beroperasi di Indonesia. Jika tak kunjung dilaksanakan, maka pemerintah berhak menerbitkan NPWP untuk mereka. Tujuannya, agar BUT tersebut taat melaporkan hartanya dan bisa dikenai pajak di Indonesia. Sebelumnya, ketentuan mengenai BUT ini sudah mengemuka sejak isu perusahaan teknologi asing semacam Google dan Facebook sulit ditarik pajaknya oleh pemerintah. Meski kemudian pada 2017 perusahaan-perusahaan over the top itu telah bersedia membayar pajak pada pemerintah. Managing Partner Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Darussalam mengatakan, aturan baru dari pemerintah mengenai BUT ini memang akan memperjelas bagaimana pemerintah menentukan perusahaan maupun orang asing yang bisa menjadi subjek pajak. Namun nyatanya hal tersebut tidak bisa disamaratakan. Sebab, sepanjang penentuan BUT telah sesuai tax treaty dengan negara mitra, maka aturan BUT ini akan efektif untuk memajaki wajib pajak luar negeri yang menjalankan kegiatan usahanya di Indonesia. \"Tetapi jika berbeda dengan tax treaty yang sudah disepakati terkait dengan pasal pemajakan BUT, tentu regulasi ini menjadi tidak efektif,\" terangnya. Tax treaty sendiri adalah kerja sama atau perjanjian dua negara yang dibuat agar tidak terjadi pemajakan berganda (double taxation) pada wajib pajak. Selain itu, tax treaty juga dibuat untuk meminimalisasi penghindaran pajak ketika wajib pajak menjalankan usaha di dua negara tersebut. Darussalam menyarankan, sebaiknya menempatkan pemajakan BUT ini dalam dalam instrumen multilateral. Artinya, aturan ini dapat dinegosiasikan dengan negara-negara mitra tax treaty. Negosiasi ini wajar dilakukan. Sebab poin-poin dalam aturan pemajakan perusahaan asing ini sendiri bisa jadi sudah mencerminkan aspirasi negara mitra tax treaty. \"Negara sumber penghasilan ingin dapat mengenakan pajak atas wajib pajak luar negeri, sesuai dengan value creation yang tercipta di negara sumber penghasilan,\" sambungnya. Direktur Eksekutif Center of Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menambahkan, pengenaan kewajiban pendaftaran NPWP bagi orang dan perusahaan asing memang telah sesuai dengan Undang-Undang (UU) No. 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum Perpajakan (KUP). Kewajiban ini juga tertulis dalam tax treaty dengan negara-negara mitra. \"Terdapat aturan yang dibuat khusus untuk mengatur lebih jelas kriteria mengenai tempat usaha. Sebaliknya, (pemerintah) juga mengatur mengenai ketentuan yang membatasi kriteria tempat usaha, sehingga tidak dapat dikategorikan sebagai place of business dalam ketentuan BUT,\" jelasnya. (din/ful/fin)

Tags :
Kategori :

Terkait