Kuota Khusus Cukup 10-15%

Rabu 15-05-2013,08:35 WIB
Reporter : Dedi Darmawan
Editor : Dedi Darmawan

Wali Kota yang Mengajukan, Disdik Diminta Tak Berlebihan KESAMBI– Wacana kebijakan membagi jatah kursi Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2013 dinilai akan menggali lubang untuk Dinas Pendidikan (Disdik) Kota Cirebon. Pasalnya, pembagian kuota 75 persen untuk jalur PPDB umum dan 25 persen jalur khusus, rawan aksi titip-menitip. Guru Besar Hukum Pidana Unswagati Prof Ibnu Artadi SH MHum mengatakan, kebijakan pembagian jatah kursi tidak berdasar. Prof Ibnu menilai aturan pembagian kuota tersebut rawan dengan aksi titip-menitip. Bahkan, hal itu sama dengan melegalkan aksi yang ditentang pada PPDB 2012. Jika kuota khusus untuk siswa berprestasi akademik, dia menolerirnya. Tanpa batasan yang jelas, kata dia, semua itu akan bias. “Catatan, kriteria berprestasi harus jelas,” ujarnya kepada Radar, kemarin. Prof Ibnu cenderung memilih prestasi akademik menjadi acuan kuota khusus. Selain prestasi itu, disesuaikan dengan standar sekolah yang dituju berdasarkan kemampuan akademik calon peserta. Sebab, tidak menutup kemungkinan jika juara renang nasional, misalnya, belum tentu mampu mengikuti sistem pendidikan yang diterapkan SMAN 1. Sebaliknya, jika dia prestasi akademik, sudah dipastikan akan mampu selaras dengan sistem pendidikan yang dituju di sekolah pilihan. Wacana pembagian kuota 75-25 persen itu, sambung Prof Ibnu, hanya akan menimbulkan celah hukum dan kebijakan bertabrakan dengan aturan hukum yang lebih tinggi. Dia berpesan, dalam mengatur pendidikan, disdik dan Pemkot Cirebon harus menyesuaikan dengan kaidah dan aturan yang berlaku. Meskipun era otonomi daerah, khusus pendidikan tidak termasuk di dalamnya. “Ada campur tangan pusat yang kentara dalam pendidikan. Disdik dan wali kota harus bijak,” harapnya. Senada disampaikan Koordinator Yabpeknas Cirebon, Sigit Gunawan SH MKn. Menurutnya, wali kota yang berhak mengajukan kebijakan kuota. Karena itu, disdik tidak boleh terlalu jauh mengatur hal ini. Termasuk aturan pembagian kuota 90 persen untuk warga Kota Cirebon dan 10 persen luar kota, hal ini dianggap penyalahgunaan wewenang dan bisa batal demi hukum. “Karena melanggar aturan lebih tinggi. UUD 45 mengamanatkan bahwa pendidikan adalah hak setiap warga negara,” tukasnya. Selain itu, Sigit memiliki pandangan sama dengan Prof Ibnu Artadi tentang kebijakan 75-25 persen. Hal itu, dapat menimbulkan aksi titip-menitip dan pemaksaan kehendak secara legal. Padahal, kebijakan hukum dibuat untuk mengatasi masalah. Namun, dalam kuota 75-25 persen itu, Sigit tidak menemukan masalah yang perlu dibuat kebijakan khusus tersebut. “Apa masalahnya? Kalau menghindari pengalaman PPDB jilid dua, perketat aturan dan pertegas,” ucapnya. Pengamat hukum pidana Agus Dimyati SH MH mengatakan, angka 25 persen untuk jalur khusus terlalu banyak. Selain itu, komposisi 90-10 persen untuk luar kota, tidak sesuai dengan UU HAM, UUD 45, dan UU Pendidikan. Dalam aturan lebih tinggi itu tidak mengenal pembatasan wilayah pendidikan. Selain itu, pembatasan kuota warga Kota Cirebon dengan luar kota, dapat menciptakan jurang perpecahan. “Ini berbahaya. Akan muncul diskriminasi,” ucapnya. Jika kuota 90-10 persen dan 75-25 berlaku, Agus memastikan sekolah negeri di Kota Cirebon akan kekurangan murid. Karena mayoritas siswa baru berasal dari kabupaten. Selain itu, kebijakan ini membahayakan Wali Kota Ano Sutrisno. Pasalnya, kebijakan 90-10 persen dibuat wali kota sebelum Ano. Namun, jika itu bermasalah, Wali Kota Ano yang harus menanggung segala akibatnya. Sebab itu, Wali Kota Ano harus segera mencabut perwali itu. “Komposisi 90-10 persen melanggar HAM,” cetusnya, kesal. Agus mengancam, bersama masyarakat luar Kota Cirebon akan mengajukan gugatan class action terhadap Pemkot Cirebon. Sebab, kebijakan 90-10 persen merupakan bentuk penyalahgunaan wewenang. Termasuk kebijakan 75-25 persen yang terlalu tinggi. “Cukup di angka 10-15 persen siswa berprestasi,” ucapnya. Jika ini terjadi (memaksakan kehendak) lanjut Agus, kepala disdik dan wali kota bisa dijerat pasal pelanggaran perbuatan melawan hukum karena penyalahgunaan wewenang. “Harus ada standar jelas. Jangan main-main dengan pendidikan,” tukasnya. (ysf)

Tags :
Kategori :

Terkait