Purnawirawan TNI Temui Jokowi di Istana, Pasca Pilpres 2019 Masih Tegang?

Minggu 02-06-2019,16:59 WIB
Reporter : Dian Arief Setiawan
Editor : Dian Arief Setiawan

Sejumlah purnawirawan bertemu Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Jumat (31/5/2019) lalu. Rombongan yang dipimpin Menkopolhukam Wiranto itu datang bersama tiga ketua persatuan purnawirawan TNI tiap matra, yakni Ketua Umum Persatuan Purnawirawan AD Letjend TNI (Purn) Kiki Syahnakri, Ketua Umum Persatuan Purnawirawan AL Laksamana TNI (Purn) Ade Supandi, dan Ketua Umum Persatuan Purnawirawan AU Marsekal TNI (Purn) Djoko Suyanto. Selain itu hadir pula mantan KSAD Jenderal (Purn) Wismoyo Arismunandar, Letjen TNI (Purn) Sintong Panjaitan, dan Letjen TNI (Purn) Rais Abin. Pertemuan ini tidak bisa dilepaskan dari situasi nasional saat ini, terutama terkait penangkapan dua pensiunan jenderal, mantan Danjen Kopassus Mayor Jenderal (Purn) Soenarko dan mantan Kepala Staf Kostrad Mayor Jenderal (Purn) Kivlan Zen. Soenarko jadi tersangka penyelundupan senjata api ilegal, sementara Kivlan disangkakan melanggar aturan soal penguasaan senjata api. Semua ditangkap pasca kerusuhan di Jakarta yang terjadi 21-22 Mei lalu. Kepala Staf Kepresidenan yang juga pensiunan tentara, Moeldoko, membenarkan pertemuan ini memang terkait dengan penangkapan purnawirawan. Dia bilang penangkapan itu membuat beberapa purnawirawan \"salah persepsi\" terhadap pemerintah. Dan orang yang diundang, katanya, diharapkan bisa meluruskan persepsi itu. \"Mungkin kemarin-kemarin ini ada beberapa purnawirawan yang ada perbedaan-perbedaan dalam memandang pemerintahan sekarang. Maka harapan kita, melalui komunikasi dengan para senior ini, bisa menjembatani,\" kata Moeldoko, Jumat (31/5/2019), sebagaimana dilansir dari Antara. Terhitung, sudah enam minggu berlalu sejak kandidat presiden petahana Joko “Jokowi” Widodo tampaknya aman mengamankan masa jabatan kedua melawan penantang Prabowo Subianto, mantan jenderal pasukan khusus lewat Pilpres 2019. Tetapi situasi Indonesia pasca salah satu pemilihan demokratis terbesar di dunia ini masih tidak stabil. Prabowo, yang sebelumnya kalah dari Jokowi dalam Pilpres 2014, telah menolak hasil pemungutan suara tanggal 17 April 2019, setelah tim kampanyenya mengklaim adanya kecurangan pemilu yang terstruktur, sistematis, dan masif. Darah para demonstran banyak tertumpah ketika sekian ribu pendukung Prabowo turun ke jalanan di ibu kota Indonesia, Jakarta pekan lalu setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) secara resmi menyatakan Jokowi memenangkan Pilpres 2019 dengan perolehan suara 55,5 persen dari 154 juta surat suara, jumlah partisipasi pemilih terbesar sejauh ini. Dua hari kerusuhan yang dipenuhi kekerasan mengakibatkan kematian delapan demonstran. Ratusan pengunjuk rasa lainnya terluka ketika polisi menembakkan peluru karet, gas air mata, dan meriam air kepada pengunjuk rasa yang melempari mereka dengan batu dan bom Molotov. Hingga kini lebih dari 400 orang telah ditangkap karena terlibat kerusuhan. Pekan ini, polisi menuduh bahwa para pendukung Prabowo, termasuk seorang jenderal purnawirawan bintang dua, berencana untuk membunuh empat pejabat keamanan utama presiden, yaitu Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, kepala Badan Intelijen Negara, penasihat intelijen presiden, dan Menteri Koordinator Bidang Maritim. Pihak berwenang mengatakan bahwa rencana itu bertujuan menaburkan benih kekacauan untuk melemahkan Jokowi saat ia memulai masa jabatan kedua. Setelah dilantik kembali, Presiden Jokowi kemungkinan akan memimpin Indonesia yang terpecah karena identitas agama. Prabowo, capres oposisi yang sebenarnya tidak terlalu religius, mewakili kaum konservatif Muslim garis keras. Jokowi, mantan walikota Jakarta, telah memperjuangkan Indonesia yang lebih inklusif dan progresif, meskipun ia memilih ulama konservatif senior Ma’ruf Amin sebagai pasangan calon wakil presiden untuk meningkatkan kepercayaan agama atas dirinya. Banyak pertanyaan tentang seberapa cepat negara Asia Tenggara yang berpenduduk 250 juta jiwa dan populasi terpadat keempat di dunia ini akan pulih kembali. Berikut ini empat pertanyaannya: Prabowo, mantan menantu presiden diktator Suharto, telah menuduh KPU melakukan penghitungan suara secara curang dan bias untuk kemenangan Jokowi. Prabowo telah mengajukan gugatan atas hasil Pilpres 2019 kepada Mahkamah Konstitusi, yang akan memutuskan kasus tersebut bulan Juni. Para pakar mengatakan bahwa Prabowo, 67 tahun, menggugat hasil pemilu sebagian besar karena dia mampu dan memang tidak ada ruginya untuk mengajukan gugatan. Prabowo sebelumnya juga telah menggugat hasil Pilpres 2014 ketika ia kalah dari Jokowi dengan selisih resmi yang lebih tipis. Dengan menentang hasil pemilu, Prabowo dapat mempertahankan koalisi Muslim konservatifnya, mendapatkan lebih banyak konsesi dari Jokowi, dan mempertahankan muka setelah kalah dalam Pilpres 2019 dengan peorlehan 17 juta suara. Ya, memang ada, tapi tidak pada skala masif yang bisa mengubah hasil pemilu. Para analis mengatakan bahwa akan selalu ada contoh khusus dari praktik jual beli suara dan kecurangan pemilihan di negara berkembang sebesar Indonesia. Dalam satu kasus seperti itu, ribuan surat suara yang diperuntukkan bagi warga negara Indonesia yang tinggal di Malaysia diketahui telah dicoblos memilih Jokowi. Namun, klaim oleh kubu Prabowo tentang kecurangan besar yang akan mempengaruhi hasil keseluruhan pemilu tampaknya tidak berdasar. Badan Pengawas Pemilu (Banwaslu) menolak keluhan para pendukung Prabowo tentang kecurangan dengan alasan tidak cukup bukti. “Ada sangat sedikit bukti pada Pilpres 2014 dan sangat sedikit bukti dalam pemilu kali ini,” kata Made Supriatma, peneliti tamu di Institute of Southeast Asian Studies di Singapura. “Klaim itu tidak berdasar.” Kerusuhan pasca pengumuman hasil Pilpres 2019 segera memicu kekhawatiran akan terulangnya kerusuhan massal tahun 1998 yang mengakibatkan lebih dari 1.000 kematian, sebagian besar warga Indonesia keturunan Tionghoa dan penggulingan Presiden Suharto setelah tiga dekade berkuasa. Tetapi kondisinya jauh berbeda saat itu. Ketidakpuasan di Indonesia pada saat itu tersebar luas dan bergantung pada masalah ekonomi yang mengakar dalam. Jokowi masih menjadi presiden populer yang mendorong ekonomi tumbuh pada tingkat 5 persen atau lebih dalam lima tahun terakhir. Para analis mengatakan bahwa kerusuhan baru-baru ini terbatas pada pendukung Prabowo dari kelompok Muslim garis keras dan tidak menunjukkan gerakan rakyat yang jauh lebih luas menentang presiden yang dapat memicu pertumpahan darah lebih lanjut. “Kerusuhan Jakarta didorong oleh beberapa ribu pembuat onar yang tidak mencerminkan pandangan sebagian besar pendukung Prabowo,” kata Ben Bland, direktur proyek Asia Tenggara di think tank Lowy Institute yang berbasis di Sydney. “Banyak yang mungkin kecewa dengan hasil pemilu, tetapi hanya minoritas kecil yang mendukung gagasan protes massa, apalagi aksi kekerasan. Hasil exit poll menunjukkan bahwa lebih dari 90 persen pemilih meyakini prosesnya berlangsung bebas dan adil.” Jokowi, 57 tahun, harus meredam pengaruh yang terus berkembang dari para penasihat keamanannya, yang jika diberi kekuasaan lebih bisa mengobarkan ketegangan lebih lanjut dengan kubu Prabowo, menurut para pakar. Jokowi tidak memiliki mandat untuk sepenuhnya mengabaikan penantangnya dan mungkin juga harus menawarkan sejumlah posisi pendukung di pemerintahan atau peluang bisnis untuk memastikan hubungan yang membaik antara kedua kubu. “Prabowo meraih 44 persen suara,” kata Supriatma. “Dia punya pengaruh. Anda tidak bisa mengabaikannya begitu saja.” Untuk memperbaiki perpecahan nasional, Jokowi perlu menunjukkan keterampilan yang belum banyak ia gunakan sebelumnya, yaitu bakat orasi yang dapat menginspirasi koalisi yang lebih luas. Jokowi, menurut para analis, lebih merupakan pekerja daripada pembicara. Sebagai gantinya, Jokowi dapat memberlakukan lebih banyak transparansi dalam kekuatan  kepolisian Indonesia untuk memerangi reputasi mereka sebagai alat politik bagi pemerintah yang berkuasa. “Demokrasi berada di bawah tekanan di Indonesia karena munculnya bentuk pahit politik identitas dan pendekatan yang semakin tidak toleran untuk menyelesaikan perselisihan politik, dari pemerintah maupun oposisi,” kata Bland. “Namun terlepas dari masalah ini, Indonesia masih melakukan jauh lebih baik daripada kebanyakan negara yang telah mencoba untuk beralih dari otoritarianisme ke demokrasi. Negara-negara tetangga regional Thailand dan Myanmar, misalnya, adalah studi kasus tentang kegagalan transisi menuju demokrasi dari otoritarianism.” (*)

Tags :
Kategori :

Terkait