5 Tahun Belum Ada Kejelasan, Warga Terdampak Proyek Waduk Kuningan Geruduk Kantor BBWSCC

Jumat 28-06-2019,12:30 WIB
Reporter : Dedi Haryadi
Editor : Dedi Haryadi

CIREBON-Sejumlah perwakilan warga dari tiga desa yakni Desa Kawungsari, Randusari dan Tanjungkerta, Kecamatan Cibeureum, Kabupaten Kuningan, mendatangi kantor Balai Besar Wilayah Sungai Cimananuk-Cisanggarung (BBWSCC), di Jalan Pemuda Kota Cirebon, Kamis (27/6). Kedatangan warga, tak lain untuk menuntut pembayaran ganti rugi atas lahan mereka yang terdampak pembangunan waduk Kuningan. Ketua Forum Masyarakat Peduli Dampak Lingkungan Waduk Kuningan Asep Kusnara mengatakan, warga di tiga desa tersebut merasa kecewa dengan janji-janji yang selama 5 tahun ini tak kunjung mendapat titik terang. Atas dasar itu, mereka menemui pihak BBWS untuk meminta kepastian waktu pembayaran ganti rugi yang dijanjikan. “Sudah bertahun-tahun kami menunggu dan sampai sekarang belum dibayar semua,” ujar Asep. Diungkapkan Asep, total warga yang terdampak pembangunan waduk di tiga desa berjumlah sekitar 540 kepala keluarga (KK). Dengan rincian 400 KK di Desa Kawungsari, 55 KK di Desa Randusari dan 85 KK di Desa Tanjungkerta. Dengan total luas lahan sekitar 30 hektare. Dari ketiga desa tersebut, kata Asep, Desa Kawungsari menempati urutan pertama luas terdampak pembangunan waduk. Seluruh wilayah desa yang berjumlah 8 RT sepenuhnya masuk kawasan waduk atau harus bedol desa. Adapun Desa Tanjungkerta hanya 1 RT dan Randusari 2 RT. Asep menjelaskan, warga sempat mendapatkan angin segar ketika Bupati Kuningan Acep Purnama menjanjikan pelunasan pada bulan April pada tahun lalu, tapi tidak ada realisasinya. Janji yang disampaikan Bupati Acep tersebut, kata Asep, buntut dari aksi warga yang menyegel lokasi pembangunan waduk. Setelah peristiwa tersebut, akhirnya muncul surat pernyataan bersama antara Bupati Kuningan dan masyarakat desa. \"Dijanjikan ada realisasi bulan April, sampai sekarang tidak ada realisasi,” keluh Asep. Bulan lalu, warga kembali menyegel lokasi proyek sekitar tanggal 21 Mei. Mereka mengunci gerbang masuk menuju lokasi pembangunan waduk. Warga melarang kelanjutan pembangunan sebelum adanya pembayaran ganti rugi. “Karena intinya masyarakat kalau belum ada realisasi pembayaran, proyek ini belum boleh dilanjutkan,” tegas Asep. Apalagi, lanjutnya, sekarang progress pembangunan sudah 97 persen. “Makanya yang saya tanyakan, untuk pembangunan sekelas proyek strategis nasional ini sebenarnya pembebasan lahan dulu atau pembangunan dulu, tapi katanya boleh membangun di titik itu. Tetapi di sisi lain masyarakat kami disengsarakan,” sambungnya. Kesengsaraan warga yang dimaksud adalah dampak polusi suara dan udara selama proses pembangunan berlangsung. Selama 5 tahun, warga harus terbiasa dengan suara alat berat serta debu tebal saat musim kemarau.  Apalagi jika hujan tiba, mereka terbayang bahaya yang setiap saat bisa saja terjadi. Asep mengaku heran, karena selama ini warga sangat terbuka dengan proses ganti rugi. Sebaliknya, keseriusan penyelesaian ganti rugi tidak terlihat dari pihak BBWSCC. Selama ini, sebut Asep, warga belum melihat adanya tim yang turun melakukan pendataan maupun pengukuran luas tanah masing-masing kepala keluarga. Asep tidak menampik, jika saat ini pembangunan saat ini menggunakan lahan Perhutani. Namun lokasi tersebut tidak jauh dari lokasi pemukiman atau lahan warga. “Bahkan yang kena terdampak langsung atau  akan digenangi waduk itu desa Kawungsari, yang bedol desa. Tadi juga disampaikan BBWS, pemberkasannya saja belum sampai,” beber Asep. Di sisi lain, warga menemukan fakta bahwa terdapat 13 KK yang telah menerima pembayaran. Padahal, lokasi 13 KK tersebut cukup jauh atau berada di tengah waduk. Warga juga mempertanyakan proses pembayaran tersebut karena terkesan dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Sementara itu, Kepala Bidang Pelaksanaan Jaringan Sumber Air BBWS Cimanuk-Cisanggarung (BBWSCC) Dwi Aryani Sewadhi menepis tuduhan warga. Pihaknya, hingga saat ini masih terus berproses untuk menyelesaikan kewajiban pembayaran ganti rugi. “Kita ini sedang berproses semua, jadi nggak bisa instan langsung jadi. Tugas kita balai ini memang bertugas membayar,” ucap Dwi. Namun, kata Dwi, untuk menuju pembayaran, ada beberapa tahapan yang harus ditempuh. Diantaranya dengan pendataan oleh Satgas yang dibentuk pemerintah daerah (Pemda) setempat. Dari hasil pendataan dan pengukuran lahan, pihaknya akan berkoordinasi dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN). “Kalau sudah, kita serahkan ke appraisal untuk menentukan harga. Kemudian diaudit oleh BPKP. Nanti BPKP melihat wajar tidaknya harga,” terang Dwi. Namun Dwi tidak menjelaskan kapan proses itu dapat dituntaskan. Hanya saja, ia memastikan bahwa salah satu desa sudah selesai dilakukan pendataan dan appraisal. Tinggal menunggu proses audit BPKP. “Karena urutannya panjang. Setelah selesai semua baru kita bayarkan, yang membayar juga bukan kita, tetapi melalui lembaga bentukan Kementerian Keuangan,” tandasnya. (day)

Tags :
Kategori :

Terkait