Gejala sosial menunjukkan aksi kekerasan di masyarakat semakin terasa. Bentrok fisik, saling ancam, menakut-nakuti, ribut dan konflik suku, geng motor, memiliki sesuatu dengan kekerasan dan senjata, bahkan tidak jarang akhirnya berujung pada menghilangkan nyawa seseorang, jadi berita sehari-hari. KEKERASAN memang tidak hanya dalam bentuk fisik. Intimidasi untuk memuluskan keinginan tertentu, pemaksaan kehendak, tentu masuk dalam kategori ini. Gejolak sosial masyarakat ini memang masih terlihat dalam frekuensi yang mengkhawatirkan di Kota Cirebon. Misalnya saja perilaku main hakim sendiri yang dilakukan kelompok yang belakangan disebut ninja, belum lagi geng motor dan kejahatan jalanan. Yang paling mudah terlihat tentu saja premanisme jalanan. Seorang sumber Radar di jajaran intelejen Polisi Resor Cirebon Kota, membagi preman dalam kelompok-kelompok pekerjaan yang dilakukan. Misalnya saja untuk preman di kawasan Terminal Harjamukti. Di lokasi ini ada dua kelompok yaitu calo penumpang dan pengamen. “Nah, pengamennya ini sering sambil mabuk dan memaksa,” ungkap pria yang sering menggunakan kacamata hitam ini. Di dalam kota juga terdapat beberapa kelompok preman. Misalnya saja calo penumpang di kawasan Jl Tentara Pelajar atau pusat perbelanjaan sekitar Pasar Pagi dan Jl Siliwangi-Karanggetas. Kelompok serupa juga ada di Jl Slamet Riyadi yang lokasinya berada di depan kantor Badan Koordinasi Pemerintahan dan Pembangunan wilayah III Jawa Barat dan di depan Bank Tabungan Negara (BTN). Terpisah, Kepala Polisi Resor Cirebon Kota AKBP Drs Herukoco MSi menilai, bentrok warga di Jakarta dua hari terakhir, sangat kasuistik. Artinya, menjadi harapan tidak sampai terjadi di Kota Cirebon. Karena dampaknya akan merugikan masyarakat sendiri. Namun demikian, kepolisian tetap akan mengidentifikasi kemungkinan adanya kelompok-kelompok backing mem-backing seperti itu, dan ditangani persuasif. Khusus soal keberadaan preman, menjadi kesulitan bagi polisi mengidentifikasi adalah korban terkadang enggan melapor tindak kekerasan yang menimpanya. Dalam waktu dekat pun, kata dia, Polres Cirebon Kota akan melakukan razia preman di tempat-tempat terbuka. “Jangan sampai terjadi di kota ini bentrok seperti itu,” ucapnya. Terkait penggunaan senjata api di masyarakat, kata dia, sifatnya sangat terbatas. Bagi yang izinnya telah habis, untuk sementara tidak bisa diperpanjang, dan senjata harus diserahkan untuk disimpan di kepolisian. “Terbatas sekali penggunaan senjata api legal itu. Tidak sembarangan, apalagi kalau sampai ada orang-orang tertentu yang menggunakan senjata untuk tujuan kekerasan, itu melanggar aturan,” paparnya saat ditemui di Radiant Hall Untag Prima. Menurut Heru, izin menggunakan senjata api diberikan setelah pemohon melalui serangkaian tes menurut UU Darurat nomor 12 tahun 1951 tentang kepemilikan senjata dan bahan peledak. Juga peringatan-peringatan lain seperti tidak boleh dipamerkan, hanya boleh digunakan untuk mempertahankan diri. Senjata api saat ini diberikan izin penggunaannya di antaranya untuk satpam bank. “Tes izin kepemilikan senjata tidak hanya bagi masyarakat, bagi polisi pun ada tesnya,” ungkapnya seraya menyampaikan jumlah pemilik senjata api legal ada di satuan intel, namun identitas pemilik tidak untuk diinformasikan secara luas. Di mata sosiolog Prof Dr H Abdullah Ali MA, kondisi ini sudah menandakan darurat premanisme. “Ya sekarang bisa dibilang darurat premanisme,” ujarnya. Menurut Abdullah Ali, premanisme adalah paham bagi orang-orang yang disebut preman, atau biasa bebas melakukan hal sesuka apapun, meskipun tidak sesuai akal sehat dan norma berlaku. Dikenal membabi buta, akhirnya yang terlihat adalah binatang, karena premanisme identik dengan perangai binatang. Ini terjadi karena akal tidak harmonis dengan hati. “Yang kuat memakan yang lemah, yang berkuasa memakan yang tidak berdaya,” terangnya kepada Radar ditemui di kampus IAIN Syekh Nurjati. Abdullah mengatakan, gejala premanisme berangkat dari nafsu. Ada yang digambarkan dengan amarah, menurut Alquran, yakni angkara murka tidak terkendali. Nafsu ini pasti membawa keburukan, kejahatan, permusuhan, benci, dendam. Jika sudah seperti itu, maka muncul anggapan siapa yang menghalangi keinginan adalah musuh, harus diancam, ditekan, bahkan dihabisi. Berikutnya, ucap guru besar IAIN Syekh Nurjati ini, gejalanya terdorong oleh kebutuhan dan kekecewaan. Ketika seseorang kecewa tidak bisa mencapai keinginan, kebutuhan, dorongan itu bisa melahirkan tindakan bersifat kekerasan, pemaksaan, penekanan, menghalalkan segala cara. Artinya keluar dari nilai dan norma. Tetapi perlu diingat, premanisme ini dilakukan oleh preman yang tidak saja berasal dari penganggur, tidak jelas pekerjaannya, suka nongkrong di pinggir jalan, ada di terminal. Juga dilakukan oleh mereka yang intelek, berdasi, profesor, pengusaha, akademisi, penguasa, sampai berseragam. “Siapapun yang berperilaku seperti binatang, maka dia sudah terjangkiti premanisme. Hanya, tambah Abdullah, satu hal tidak kalah penting diingat adalah implikasi dari lemahnya hukum dan faktor SDM. Akibat aji mumpung, hukum bisa dibeli. Akhirnya preman tambah banyak. “Kemudian aparat kita tidak konsekuen. Bentuk-bentuk premanisme tidak hanya dilakukan orang bawah, tapi terkadang berdasi, intelek dan seterusnya. Termasuk adanya profesi debt collector yang biasa dipakai menakut-nakuti, calo PPDB,” ungkapnya. (yuda sanjaya/suhendrik)
Darurat Premanisme
Jumat 01-10-2010,07:51 WIB
Editor : Dedi Darmawan
Kategori :