Harga Garam Lokal Anjlok, Paling Mahal Rp500

Jumat 26-07-2019,19:00 WIB
Reporter : Leni Indarti Hasyim
Editor : Leni Indarti Hasyim

CIREBON - Harga garam krosok di tingkat petambak nyaris stagnan. Sejak pertama kali panen pada awal Juni 2019 lalu, hingga kini harga garam produksi lokal tak mengalami perubahan. Bahkan trend di beberapa wilayah penghasil garam di Kabupaten Cirebon, terus mengalami penurunan. Rasman, salah satu petani garam yang ditemui Radar Cirebon dilahan garapan di Blok Kandawaru, Desa Waruduwur mengaku sejak awal Juni 2019 lalu, harga garam tak pernah mengalami kenaikan dan mentok di angka Rp500 perkilogram. Harga tersebut jauh sekali dengan harga garam tahun lalu di bulan yang sama, dimana harga garam di awal panen bisa sampai Rp1.500. “Kalau dibanding tahun lalu ya jauh sekali. Sekarang sih boro-boro untung, garap lahan ketimbang nganggur di rumah saja. Sekarang Rp500, padahal tahun lalu waktu awal panen bisa Rp1.500,” ujar Rasaman, kemarin (25/7). Pria yang mengaku tinggal di Desa Rawaurip tersebut menyebut, penghasilan setiap hari petani garam seperti dirinya sekitar Rp25.000 jika hasil panen dibagi secara harian. Pasalnya, paling banyak produksi saat ini dengan luas lahan yang ia garap petani paling banter bisa memproduksi satu kuintal garam setiap harinya. “Lima hari sekali kita panen. Saya garap dua kopang kurang lebih hasilnya 5 kuintal. Hasilnya kita bagi dengan pemilik lahan. Kalau perkilonya Rp500, perhari berarti kita dapat Rp25.000. Sudah begitu yang kerja saya sama isteri. Sudah gak ada untungnya. Harusnya harga di atas Rp1.000. Kalau itu baru bisa untung, meskipun sedikit,” imbuhnya. Meskipun tidak menghasilkan keuntungan, Rasman mengaku tidak punya pilihan. Kegiatannya menjadi petani garam dilakukan saat musim panen saja antara bulan Juni hingga Oktober. Selepas itu, dia akan kembali menjadi pemulung dan mencari barang bekas. “Kalau untuk biaya produksi ya gak ketemu. Cuma dapat Rp25.000. Untuk makan berdua saja sama istri kurang. Tapi ya mau gimana lagi? Saya anak ada empat, yang satu jadi petambak garam juga,” jelasnya. Sementara itu, beberapa faktor disinyalir menjadi penyabab anjloknya harga garam. Di antaranya overstock, kualitas garam yang masih di bawah standar dan impor. Impor garam sendiri menjadi hal yang sangat vital yang akan sangat mempengaruhi harga garam lokal. Oleh karena itu, sejumlah petambak pun meminta pemerintah untuk tidak melakukan impor garam yang bisa merusak harga garam lokal. “Kalau dipaksa impor ya harganya makin anjlok. Sekarang saja belum impor harganya sudah sangat murah. Masih di angka Rp500 sampai Rp300 perkilogram. Garam-garam kita saja sulit untuk diserap. Lalu kalau sudah ada impor, kita mau jual ke mana garam kita?” ujar Rasdi, petani garam yang ditemui Radar Cirebon, kemarin (25/7). Sejak dulu menurut Rasdi, tidak ada yang bisa menjamin garam impor tersebut tidak bocor dan mengganggu pasar garam lokal. Garam-garam yang diimpor tersebut kerap membanjiri pasar dan membuat garam lokal tidak laku. “Silakan cek sendiri. Banyak garam putih bersih yang beredar di pasar tradisional. Pasti bisa dibedakan mana yang garam lokal dan garam impor dari rasa dan warnanya. Lagian itu di gudang sebelah masih satu gunungan besar belum habis garam impornya. Masa sudah mau datangin lagi,” imbuhnya. Terpisah, petambak garam lainnya, Rohman menyebut jika pemerintah harusnya bisa lebih mendesak pengusaha dan pihak swasta lainnya untuk bisa menyerap garam hasil petani lokal. Menurutnya, selama ini serapan yang ada tidak maksimal, sehingga petani belum bisa merasakan harga yang menguntungkan. “Kalau bisa perusahaan yang lokal dulu. Pastikan bahan baku yang digunakan dari petani garam lokal. Serap dulu garam kita, kalau dari kita kurang baru kaji kemungkinan impor. Tapi impor adalah kemungkinan akhir kalau kita sudah tidak kuat produksi,” ungkapnya. (dri)

Tags :
Kategori :

Terkait