Lacak Jejak Sejarah dan Nasionalisme Bahasa Indonesia

Senin 05-08-2019,14:01 WIB
Reporter : Husain Ali
Editor : Husain Ali

CIREBON - Center for Language dan Literacy Studies (CLLS) Indonesia menggelar kajian bulanan bertajuk Sedasa (Sarasehan dan Diskusi Bahasa). Diskusi kali pertama ini bertemakan: Melacak Konstruksi Sejarah dan Nasionalisme Bahasa Indonesia. Diskusi yang merupakan serangkaian kegiatan peluncuran komunitas epistemik, itu dihelat di Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam (FSEI) IAIN Syekh Nurjati, pada Jumat (8/2) lalu. Diskusi diikuti para peneliti CLLS dan mahasiswa lintas kampus di Cirebon, serta dihadirkan pula tiga pakar Bahasa Indonesia. Muhsiyana, kordinator Sedasa menuturkan bahwa tema ini diangkat sebagai bagian dari prosesi merayakan secara ilmiah bulan kemerdekaan Republik Indonesia ke-74. Menurutnya, pada era perjuangan meraih kemerdekaan bahkan hingga saat ini, bisa dibilang bahasa Indonesia merupakan satu-satunya alat pemersatu bangsa. “Di tengah-tengah keberagaman agama, suku, dan ratusan bahasa daerah, Bahasa Indonesia bisa dibilang merupakan satu satunya pemersatu bangsa,” kata Muhsiyana. Ini juga yang kemudian disinggung salah satu narasumber, yaitu Nurhanna. Menurutnya, ada satu informasi historis bahasa Indonesia yang unik. Gagasan lahirnya bahasa ini sesungguhnya muncul sebelum Sumpah Pemuda II tahun 1928. “Dalam bukunya, Kridalaksana menyatakan fakta bahwa 2 Mei 1926 adalah hari kelahiran bahasa Indonesia. Yakni ketika M Tabrani menyatakan bahwa bahasa bangsa Indonesia haruslah bahasa Indonesia,” tutur Hanna, yang juga dosen Bahasa Indonesia IAIN Syekh Nurjati itu. Selain itu, Rianto peneliti CLLS yang juga merupakan pemantik diskusi, memaparkan beberapa faktor yang melatarbelakangi pemilihan bahasa Melayu sebagai akar bahasa persatuan. \"Mengapa harus bahasa Melayu? Mengapa bukan bahasa Jawa atau Sunda?,\" ujarnya. Rianto menyebutkan, bahasa Melayu diyakini sebagai lingua franca yang menghubungkan berbagai bangsa. sehingga bahasa ini dirasa tepat digunakan sebagai bahasa persatuan. Populasi penutur bahasa Melayu yang sedikit, hanya sekitar 5 persen pada saat itu, justru menjadi poin tambahan tersendiri. “Hal ini menjadikan posisi bahasa Melayu netral. Lain halnya bila bahasa Jawa, misalnya, dengan jumlah penutur terbanyak dipilih. Sangat dimungkinkan timbulnya dominasi etnis Jawa yang pada akhirnya berakhir pada ‘kecemburuan’ di antara etnis-etnis bangsa lain,” terang Rianto. Andi Hakim, moderator diskusi, menyatakan bahwa lahirnya bahasa Indonesia ini merupakan fenomena yang sangat unik bila ditinjau dari kacamata linguistik. Lahirnya bahasa Indonesia berbeda dengan kasus bahasa Hebrew, bahasa mati yang dihidupkan kembali ketika negara Israel akan didirikan. Lebih lanjut Andi memaparkan bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa pidgin atau bahasa yang direkayasa karena pada saat itu belum memiliki penutur asli dan kamus standar. \"Bahasa kita baru berkembang menjadi bahasa creol pada tahun 1983, 55 tahun setelah ikrar bahasa Indonesia,\" jelasnya. Lebih lanjut Andi menuturkan, perkembangan bahasa begitu dinamis dan kontekstual. Masyarakat juga tidak dapat pula menutup diri dari pergaulan internasional, dengan mampu menguasai bahasa asing. Paradigma yang harus dibangun, menurut Andi, membangun kecintaan terhadap bahasa daerah, pengarusutamaan bahasa Indonesia dan penguasaan terhadap bahasa asing. Ketiganya harus berjalan sinergis dan setara tanpa perlu mendiskreditkan salah satu di antaranya. “Bila bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional tidak digunakan dalam setiap domain kehidupan masyarakatnya, baik keluarga, pendidikan, budaya, perekonoman dan kehidupan sosial, lantas apa kabar dengan bahasa daerah?,” pungkas Andi. (awr)

Tags :
Kategori :

Terkait