Keluarga Tragedi 65 Sepakat Akhiri Konflik

Sabtu 02-10-2010,07:55 WIB
Reporter : Dedi Darmawan
Editor : Dedi Darmawan

JAKARTA - Tragedi kemanusiaan tahun 1965 merupakan salah satu sejarah kelam Republik Indonesia. Para korban dan pelaku pemberontakan era revolusi itu hingga kini masih memiliki garis keluarga. Dalam forum silaturahmi nasional yang diinisiasi MPR RI kemarin (1/10), para keluarga korban dan keluarga pelaku berikrar sepakat untuk mengakhiri konflik diantara mereka. Puluhan keluarga korban dan keluarga pelaku peristiwa sejarah Indonesia berkumpul di gedung Nusantara IV MPR, kemarin (1/10). Diantaranya yang hadir, Putri Mayjen TNI (anumerta) DI Pandjaitan, Catherine Panjaitan; putra almarhum Ketua Central Comittee (CC) PKI DN Aidit, Ilham Aidit; putra Imam Besar DI/NII Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo, Sarjono Kartosuwiryo; putri Jenderal TNI (anumerta) Ahmad Yani, Amelia Ahmad Yani; putra mantan KASAU Marsekal (purnawirawan) Omar Dani, Perry Omar Dani; dan putri almarhum Wakil Ketua CC PKI Nyoto, Svetlana Nyoto. Mereka selama ini telah tergabung dalam Forum Silaturahmi Anak Bangsa (FSAB). ”Ikrar kami, berhenti mewariskan konflik, dan tidak akan membuat konflik baru,” kata Amelia Yani selaku ketua panitia silaturahmi nasional kemarin. Ketua MPR Taufik Kiemas, Ketua DPR Marzuki Alie,Wakil Ketua MPR Lukman Hakim Saifuddin, Wakil Ketua MPR Ahmad Farhan Hamid, dan Ketua DPD Irman Gusman juga hadir dalam silaturahmi nasional itu. Menurut Amelia, FSAB menjadi bukti bahwa tidak ada lagi pertentangan antara keluarga korban dengan keluarga para pelaku. Sejak tahun 2003 lalu, FSAB terus berusaha mengumpulkan para keluarga korban dan keluarga pelaku berbagai sejarah Indonesia. ”Kami ingin menunjukkan bahwa tidak ada lagi permusuhan, semua ingin menatap ke depan,” ujarnya. Berbagai bukti bahwa sudah tidak ada lagi permusuhan diantara para keluarga itu diwujudkan dalam berbagai testimoni. Chaterine Panjaitan yang didapuk memberikan testimoni pertama kali, mengungkapkan betapa berat kehidupannya pasca kejadian 1 Oktober pagi itu. ”Saya menjadi pribadi yang trauma saat itu,” kata Catherine. Betapa tidak, Chaterine menjadi saksi hidup kematian ayah yang dicintainya. Pasukan Cakrabirawa suruhan DN Aidit saat itu mengeksekusi DI Pandjaitan di depan mata Catherine. ”Saya menyaksikan ayah saya ditembak dan (maaf, red) isi otaknya keluar. Saya hanya bersembunyi takut ketika itu,” kenangnya dengan suara tersendat. Ibu rumah tangga itu merasa saat itu hanya menjadi pribadi yang gagal, pasca kejadian itu. ”Hidup saya melanglang buana, kerja sana sini tidak jelas,” jelasnya. Hidup yang sulit dijalani Catherine. Dia mengaku tidak pernah menyaksikan film G30SPKI yang diputar pada era Orde Baru itu. ”Saya merasa pedih, karena selalu teringat jika melihat film itu,” ujarnya. Selama berpuluh tahuan, Catherine mengalami trauma. ”Buruh 20 tahun bagi saya saat timbul perasaan maaf itu,” tuturnya. Pertemuan Catherine dengan Ilham Aidit terjadi dalam forum FSAB. Catherine mengaku, dirinya melihat sosok Ilham sebagai anak dari gembong terbesar PKI. ”Namun, saat bertemu, hilang semua dendam saya. Karena saya juga tidak ingin mengajarkan dendam pada anak saya,” jelasnya. Masa kelam juga diceritakan oleh Ilham Aidit. Pasca pembantaian tujuh perwira TNI yang dikomandoi oleh ayahnya, kehidupan Ilham berubah. Itu bermula saat dirinya bangun pagi, mendapati sebuah tulisan bernada teror di tembok rumahnya. Tulisan itu berisi  ”gantung Aidit, bubarkan PKI, bantai Soebandrio,”. ”Tulisan itu mengubah hidup saya, karena bapak saya menjadi musuh bangsa,” kata Ilham dalam testimoninya. Kehidupan pun menjadi tidak mudah bagi Ilham yang ketika itu masih berusia enam tahun. Dirinya selalu menjadi bahan olok-olok teman-temannya. Pribadi Ilham pun berontak. Sejak SMP, Ilham selalu menantang siapapun yang mengejek ayahnya berkelahi. ”Saya sering kalah berkelahi, karena lawannya lebih besar,” ujarnya. Di luar kebiasannya berkelahi, Ilham memiliki prestasi bagus di sekolahnya. Seorang pastur dari AS memintanya untuk berhenti berkelahi. Pastur itulah yang menceritakan sejarah terkait ayahnya, beserta sisi lain yang tidak pernah terungkap oleh sejarah. “Tragedi di pulau Buru misalkan, itu harus menjadi bagian sejarah,” pintanya. Selama 44 tahun, Ilham mengaku tidak pernah menggunakan nama belakang Aidit. Dia bertutur, setiap akan menuliskan nama lengkapnya, dia selalu berhenti saat akan menuliskan Aidit. “Namun, saat di FSAB, mereka memperkenalkan nama lengkap saya. Dan saya ternyata masih bisa hidup,” kata pria yang aktif sebagai arsitek itu. Sarjono Kartosuwiryo juga memiliki kisah tersendiri. Pria yang kini jadi juragan sebuah angkutan kota itu mengaku nama Kartosuwiryo telah ditenggelamkan lawan politiknya. Semua harta benda yang ditinggalkan ayahnya, telah dirampas oleh sejumlah pihak. ”Saya hanya dapat bagian 10 persen saat itu,” kata Sarjono. Meski hidup di garis kemiskinan, Sarjono mengaku menikmati kehidupannya. Selama bertahun-tahun, dirinya mencari kuburan sang ayah. Simpang siur kuburan Kartosuwiryo dikabarkan dimana-mana. Namun, bukti yang paling otentik membuktikan bahwa kuburan sang ayah berada di Pulau Onrus, Kepulauan Seribu. ”Saya juga tidak terbayang bisa berada di tengah-tengah sini,” ujarnya bangga. Silaturahmi nasional itu juga mengundang keluarga Presiden Soekarno dan keluarga Presiden Soeharto. Dari Presiden Soekarno diwakili oleh Sukmawati Soekarno, sementara keluarga Presiden Soeharto diwakili oleh Hutomo Mandala Putra. Tommy Soeharto —sapaan akrab Hutomo- sempat belum hadir hingga acara dimulai. Namun tiba-tiba, putra sulung Soeharto itu hadir di tengah-tengah acara. Tommy langsung diberi giliran untuk menyampaikan testimoni. ”Kejadian sejarah ini adalah hukum sebab akibat yang kita terima,” kata Tommy. Dia meminta agar kejadian sejarah itu menjadi pelajaran berharga. Memang sejarah tidak bisa diubah, namun masa depan masih bisa direncanakan dan dibentuk. Tommy juga mengajak seluruh perwakilan yang hadir untuk membangun negara agar lebih baik. ”Saya atas nama pribadi dan keluarga mohon maaf lahir dan batin,” ujarnya. (bay)

Tags :
Kategori :

Terkait