Indonesia Pilih Netral soal Konflik Kashmir

Jumat 16-08-2019,07:37 WIB
Reporter : Husain Ali
Editor : Husain Ali

JAKARTA - Ketegangan di dataran tinggi Kashmir yang melibatkan India dan Pakistan, belakangan waktu ini semakin tinggi. Untuk menyelesaikan konflik tersebut, beberapa negara diminta turun tangan sebagai penengah diantara keduanya. Salah satunya Indonesia yang dinilai berpeluang menjadi negosiator untuk meredakan ketegangan di dataran tinggi Kashmir tersebut. Pasalnya, hubungan dekat Indonesia dengan India dan Pakistan yang telah terbangun sejak penyelenggaraan Konferensi Asia Afrika pada 1955 dan Gerakan Non Blok pada 1961. Selain latar historis, posisi Indonesia cukup netral untuk menjadi penggerak terbangunnya komunikasi antara dua negara yang bersitegang di Kashmir itu. \"Indonesia dengan Pakistan dekat sebagai sesama negara berpenduduk mayoritas muslim, sementara Indonesia dan India dekat dalam hubungan ekonomi. Kita tahu, India merupakan negara tujuan ekspor CPO (crude palm oil) terbesar dari Indonesia,\" kata Pakar Asia Selatan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia Agung Nurwijoyo di Jakarta, Rabu (14/8). Menurut Agung, tidak terlalu sulit bagi Indonesia untuk menawarkan diri menjadi penghubung terbangunnya dialog antara India dan Pakistan. Alasannya, Indonesia memiliki pengalaman jadi penengah konflik di Afghanistan, negara yang berada di Asia Selatan. \"Pintu gerbangnya lewat Afghanistan. Indonesia punya pengalaman jadi penengah konflik di sana. Ini saatnya Indonesia masuk wilayah non-konvensional (seperti Kashmir) dalam menjalankan misi perdamaian,\" ujarnya. Sejak ketegangan di Kashmir meningkat pada awal Agustus, pemerintah Indonesia telah mendorong dua negara yang bersitegang untuk membangun dialog bilateral guna mendudukkan masalah di Kashmir. Namun, Indonesia belum menawarkan diri menjadi penghubung dua negara tersebut agar dapat duduk bersama di meja runding. \"Indonesia mendorong agar India maupun Pakistan dapat mendahulukan penyelesaian masalah melalui dialog bilateral,\" kata Pelaksana Tugas Juru Bicara Kementerian Luar Negeri, Teuku Faizasyah. \"Indonesia juga terus mengimbau agar kedua negara dapat menahan diri,\" sambungnya. Sebelumnya, Menteri Luar Negeri Pakistan, Shah Mahmood Qureshi, mengatakan dia berencana mendekati Indonesia dan Polandia yang kini menjadi anggota tidak tetap DK PBB untuk mendukung Islamabad membawa isu Kashmir ke dewan tersebut. Selain Indonesia dan Polandia, Qureshi menuturkan Pakistan juga membutuhkan bantuan China sebagai anggota tetap DK PBB terkait hal ini. Sejauh ini, Turki dan Amerika Serikat jadi dua negara yang menyatakan kesiapannya untuk jadi penengah konflik. Akan tetapi, India menolak tawaran AS sebagai penengah, walaupun Pakistan menyambut usulan itu. Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan telah menyampaikan tawaran jadi penengah ke Perdana Menteri Pakistan Imran Khan dalam pembicaraan melalui telepon. Setelah pembicaraan itu, Erdogan berencana menghubungi Perdana Menteri India Narendra Modi guna membahas kemungkinan Turki jadi penengah konflik Kashmir. Hubungan India dan Pakistan kembali tegang setelah PM Narendra Modi mencabut status istimewa atau otonomi khusus negara bagian Kashmir pada medio Agustus 2019. Padahal, otonomi khusus itu telah dinikmati warga negara bagian Kashmir selama tujuh dasawarsa. India tak hanya mencabut status istimewa Kashmir, tetapi juga menerjunkan 10.000 pasukan militer, menerapkan jam malam, menutup sekolah dan meminta wisatawan meninggalkan dataran tinggi itu. India dan Pakistan telah memperebutkan Kashmir sejak dua negara itu merdeka dari Inggris pada 1947. Keduanya pernah terlibat konflik bersenjata, yaitu Perang India-Pakistan pada 1947 dan Perang Kargil pada 1999 untuk memperebutkan kuasa atas Kashmir. Namun pada 1972 melalui Perjanjian Simla, keduanya sempat sepakat untuk membagi 2/3 Kashmir untuk India dan sisanya berada di bawah kendali Pakistan. (der/fin)

Tags :
Kategori :

Terkait