Kiai Profesor

Rabu 04-03-2020,05:05 WIB
Reporter : Husain Ali
Editor : Husain Ali

Selama bersahabat, seingat Gatot, hanya sekali bertengkar. Tapi seru sekali. Dan lama sekali. Penyebabnya tidak sepele. Itu terjadi waktu Gatot menulis cerita pendek. Tulisannya disalahkan oleh Asep. Gatot tidak mau terima itu.

Itu soal bunyi kokok ayam jantan. “Bunyi kokok ayam jantan kok kukuruyuk,” ujar Asep seperti yang ditirukan Gatot. Waktu itu Gatot lagi mendiskripsikan datangnya fajar pagi. Yang biasa ditandai dengan kokok ayam jantan: kukuruyuuuuuuuk!

“Bunyi kokok ayam itu kongkorongkoooong,” ujar Asep memberikan koreksi. Pertengkaran pun terjadi. Tidak pernah terselesaikan. Lalu Asep berhenti sekolah di kelas 2 SMA itu. Tidak ada lagi biaya setelah sang ayah meninggal dunia. Ia pun pamit kepada kiai pondok Al Khoziny. “Waktu itu beliau sudah pandai matematika, bahasa Inggris dan bahasa Arab,” ujar Gatot.

Pamit ke mana? Tidak tahu. Asep tidak punya tujuan pasti hendak ke mana. Ia pun berjalan ke timur. Ke arah Lumajang. Lalu Jember. Banyuwangi. Probolinggo. Akhirnya berhenti di Pasuruan. Ia mengajar matematika di sebuah sekolah di pedesaan Pasuruan. Perjalanan itulah yang terpatri dalam otak dan hatinya: saat melihat banyaknya pabrik PMA di sepanjang jalan.

Saat meninggalkan pondok dan SMA Sidoarjo itu Asep hanya membawa satu tas. Isinya pun hanya dua stel baju dan dua buku: kamus bahasa Inggris dan Arab. Di Pasuruan itu Asep ikut ujian persamaan SMA. Lulus. Lalu masuk IKIP Surabaya --jurusan bahasa Inggris. Dengan bekal ijazah sarjana muda Asep bisa mengajar lebih resmi. Lalu kuliah lagi di jurusan bahasa Inggris di IKIP Malang. Sampai menjadi sarjana.

Ia masih kuliah lagi di UIN Sunan Ampel Surabaya. Untuk jurusan sastra Arab. Sampai sarjana muda. Saat di Surabaya itu Asep mendirikan pondok pesantren. Yakni di Siwalankerto --sekitar 2 Km dari UIN Surabaya sekarang ini. Asep tahu untuk mendirikan sekolah diperlukan syarat formal kesarjanaan. Ia pun kuliah S2 di Universitas Islam Malang. Lalu S3 di Universitas Merdeka, juga di Malang. Dan kini Asep menjadi Prof. DR. KH Asep Saifudin Chalim.

Presiden Joko Widodo hadir di acara pengukuhan Sabtu lalu. Saat menuju panggung Presiden Jokowi menghadap ke senat guru besar dulu. Lalu membungkuk khusu\' memberi hormat. Demikian pula setelah turun dari podium. Kembali menghadap senat dan kembali membungkuk hormat.

“Bapak Presiden Jokowi itu orang sholeh,” ujar Kiai Asep saat memulai pidato. Waktu itu presiden belum tiba di tempat penganugerahan. “Tempat yang disinggahi orang sholeh akan mendapat berkah,” tambahnya.

2

Kiai Asep memang memegang peran utama atas kemenangan telak Jokowi di Jatim. Padahal kalau suara di Jatim imbang saja, Prabowo lah yang menjadi presiden sekarang ini. Gatot sendiri berpisah total dari Asep. Setamat SMA Gatot melamar kerja di kementerian keuangan. Ia ditempatkan di kantor bendahara negara di Samarinda.

Sebelas tahun Gatot di Kaltim. Sambil kuliah ekonomi di Universitas Mulawarman. Di Samarinda pula ia menemukan istrinya sekarang --anak orang Malang yang juga merantau ke Samarinda. Gatot lantas mendapat beasiswa ke Amerika. Ia kuliah di University of Delaware di Newark. Lalu mendapat beasiswa lagi untuk gelar doktor di Universitas Negeri Malang.

Setelah pensiun kini Gatot ikut mengajar di Institute Abdul Chalim milik Asep. Pertengkaran saat SMA pun berakhir. Itu karena Gatot akhirnya tahu: di Jawa Barat bunyi kokok jago adalah \'kongkorongkooong\'. Gatot sama sekali tidak tahu kalau Asep itu anak kelahiran Majalengka --anak kiai besar di sana. “Selama di SMA beliau menggunakan bahasa Jawa yang halus,” ujar Gatot.

Saya ikut memberikan pidato testimoni di forum penganugerahan itu. Saya ingat saat ingin salat Subuh di Pacet. Saya berangkat dari Surabaya jam 3 pagi. Tapi saat tiba di Amanatul Ummah sudah agak telat: mendapat tempat salat di emperan masjid. Habis salat Subuh tidak ada yang keluar masjid. Diteruskan dengan kajian kitab kuning. Semua santri membuka kitabnya. Saya ikut kitab santri di sebelah saya.

“Siapa yang mengajar itu,” tanya saya kepada santri di sebelah saya. “Beliaunya Kiai Asep,” jawab si santri. Oh… Inilah kunci sukses Kiai Asep, kata saya dalam hati. Beliau total sekali dalam mengurus lembaga pendidikannya. Termasuk masih mengajar sendiri untuk kajian tertentu. Ternyata, tiap hari, Kiai Asep berangkat dari pondoknya di Siwalankerto Surabaya ke Pacet. Tiap jam 2.30 pagi. Tiap hari. (dahlan iskan)

Tags :
Kategori :

Terkait