Pedagang: PSBB Bikin Penghasilan Menurun, Harusnya Sedang Mrema

Senin 11-05-2020,17:04 WIB
Reporter : Husain Ali
Editor : Husain Ali

“Makan dan tidur di sini (toko, red). Jadi buka atau tidak sama saja, makanya mending buka. Kalau ada yang beli ya syukur Alhamdulillah,” ujar pria asli Kota Padang, Provinsi Sumatera Barat tersebut kepada Radar, Minggu (10/5).

Dibanding sebelum PSBB, Yunizar mengaku jam operasional membuka toko tak menentu. Ia pun merasa dilema, memilih tetap buka atau tutup.

“Kalau mau buka saya lihat dulu toko-toko di sebelahnya, kalau mereka buka saya juga ikut buka,” ungkap pria yang berjualan di Jl Pandesan, Kota Cirebon, itu.

Sebelum corona, imbuhnya, dalam 1 hari hampir pasti selalu ada pembeli. Minimal 1 lusin tas terjual. Apalagi, seharusnya waktu saat ini adalah waktu ajaran baru bagi anak sekolah. Namun karena mereka diliburkan, pendapatannya juga ikut turun bahkan hilang.

“Kadang waswas juga kalau ada patroli dari Satpol PP, khususnya saat PSBB seperti sekarang,” terangnya.

Pria yang memiliki 3 anak itu tidak memiliki alternatif mencari nafkah lain selain berjualan. Meski begitu, ia tetap berharap pandemi segera berakhir dan aktivitas masyarakat kembali pulih dan normal seperti sedia kala.

Sebelumnya, pedagang pigura di Jl Sukalila juga ikut mengeluh. Sepi pembeli nyaris setiap hari dirasakan. Bahkan, beberapa penjual lebih memilih tutup. “Lebih sering zonk dibanding ada pembeli,” ujar Dayat, salah seorang pedagang pigura di kawasan tersebut kepada Radar Cirebon.

Sepinya pembeli dirasakan sejak Maret lalu. Atau ketika awal pandemi Covid-19. Semenjak itu Dayat merasakan betul bahwa omset penjualan turun drastis. Lebih sering tidak menjumpai pembeli.

2

Menutup biaya hidup sehari-hari, nyambi pekerjaan pun harus dilakoni pria asli Kabupaten Pemalang tersebut. Yakni dengan membuka jasa sol sepatu dan menarik becak.

Meski penghasilan setali tiga uang dengan berjualan pigura, sama-sama sepi, setidaknya Dayat merasa telah berusaha. “Apa pun kerjanya, yang penting bisa makan. Kemarin juga sempat ikut masang spanduk imbauan terkait corona,” imbuhnya.

Luar biasanya lagi, Dayat tidak mengharap bantuan pemerintah. Kenapa? Bagi dia, hidup tanpa bantuan pemerintah sudah sejak lama dirasakan. “Makannya gak ngarep bantuan, karena setiap tahun juga gak pernah dapet,” katanya lagi.

Mayoritas konsumennya adalah orang kantoran dan instansi pendidikan. Karena semua diliburkan, tidak heran jika pemesanan ikut jarang. Apa yang membuat bertahan? “Jualan gak jualan ya sama aja, sama-sama diem. Jadi mending buka,” ungkapnya.

Walau sepi pembeli, operasional sehari-hari harus tetap dicukupi. Selain kebutuhan pokok, ada beban lain yang harus dibayarkan. Yaitu, listrik dan iuran kampung.

“Listrik sebulan Rp60 ribu. Iuran kampung sekitar Rp10-20 ribu. Jadi sebulan biaya yang harus dikeluarkan antara Rp70-80 ribu,” terangnya.

Sama seperti harapan pada umumnya, Dayat berdoa agar pandemi cepat berlalu. Kemudian, bisnis pigura di Sukalila dapat kembali bergairah. “Corona aja sudah sepi, ditambah PSBB,” tukasnya.

Tags :
Kategori :

Terkait