Oleh: Muhammad Yanuar Sodiq SH
SEJAK Rabu (27/5/2020) sore publik digemparkan dengan munculnya dokumen hasil pemeriksaan Real Time Polymerase Chain Reaction with CDC Guideline Test Diagnosis Covid-19 atau biasa dikenal Tes RT-PCR Covid-19/Tes Swab. Dokumen itu dikeluarkan oleh salah satu universitas yang berada di wilayah Cirebon.
Seolah bukan suatu hal yang bersifat rahasia, dokumen ini begitu mudahnya tersebar luas di berbagai media sosial termasuk melalui platform Whatsapp. Dalam dokumen yang beredar, tampak jelas dua identitas lengkap (meliputi nama, jenis kelamin, tanggal lahir, umur, dan alamat) hingga hasil pemeriksaan yang menyatakan pemilik identitas tersebut positif terpapar Covid-19.
Seakan bersifat valid, dokumen tersebut muncul secara lengkap layaknya surat resmi dengan keberadaan kop surat universitas, ditandatangani oleh pejabat yang berwenang, dan dibubuhi oleh stempel basah. Terlebih, selang beberapa waktu pasca kemunculan dokumen tersebut Gugus Tugas Percepatan Covid-19 Kabupaten Cirebon dan Bupati Cirebon seolah-olah memverifikasi validitas substansi dokumen tersebut.
Sebab pada Kamis (28/5/2020), Gugus Tugas melalui website Covid Center menyatakan telah terjadi penambahan dua pasien positif Covid-19 di Kabupaten Cirebon. Kemudian Bupati CirebonImron Rosyadi menegaskan bahwa dua pasien positif baru tersebut merupakan Pedagang Pasar Sumber.
Tentu jika diperbandingkan dengan dokumen yang beredar, maka pernyataan Gugus Tugas dan Bupati Cirebon seperti menghapus keraguan publik mengenai validitas dokumen tersebut. Karena baik Gugus Tugas, Bupati Cirebon, dan dokumen yang beredar, sama-sama menjelaskan adanya dua orang yang dinyatakan positif Covid-19 yang berasal dari Pasar Sumber.
Dengan adanya fakta ini, tentu opini publik yang menganggap bahwa dokumen tersebut memiliki kebenaran substansial menjadi bulat, bahkan boleh jadi tak terbantahkan.
Meski peristiwa ini telah terjadi beberapa hari lalu, tetapi patut disayangkan jika kasus ini tidak mendapatkan perhatian yang cukup serius. Mengingat dalam kasus ini, ada hak pasien yang dilindungi oleh ius constitutum.
Hak Pasien dan Aturan yang Melindunginya
Mengenai dokumen hasil laboratorium yang validitasnya tidak perlu dipertanyakan lagi, pada dasarnya bukanlah dokumen biasa yang seharusnya tidak dapat diakses dengan mudah oleh publik. Karena bagaimanapun bersamaan dengan diterbitkannya dokumen tersebut secara mutatis mutandis melekat hak privasi pasien yang sudah sepatutnya harus dilindungi kerahasiaannya oleh institusi atau lembaga berwenang yang mengeluarkannya.
Jika mengacu pada ketentuan yang ada, maka dokumen hasil laboratorium tersebut dapat dikategorikan sebagai Rekam Medis atau setidak-tidaknya termasuk dokumen rahasia kedokteran yang patut dijaga kerahasiannya. Sebab secara jelas Penjelasan Pasal 46 ayat (1) Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (UU Praktik Kedokteran) mendefinisikan Rekam Medis sebagai berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan, dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien.
Kemudian Pasal 1 angka 1 dan Pasal 3 dan Permenkes Nomor 36 Tahun 2012 tentang Rahasia Kedokteran (Permenkes Rahasia Kedokteran) menjabarkan Rahasia kedokteran merupakan data dan informasi tentang kesehatan seseorang yang diperoleh tenaga kesehatan pada waktu menjalankan pekerjaan atau profesinya yang mencakup informasi mengenai:
1. Identitas pasien;
2. kesehatan pasien meliputi hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, penegakan diagnosis, pengobatan dan/atau tindakan kedokteran; dan
3. hal lain yang berkenaan dengan pasien.