Kini sang ayah tidak berbisnis lagi. Hijrah sepenuhnya ke bidang lain: mengurus pesantren yang didirikannya di Kediri. Yang siswanya tidak perlu membayar: TK, SD, Ibtidaiyah, Aliyah, dan SMK.
Di Nganjuk perusahaan Novi memiliki 2.000 karyawan. Merekalah --di tahun 2017--yang dikerahkan untuk menaikkan rating pencalonannya sebagai bupati.
Mereka itu yang memasang 6.500 lebih poster besar di semua RT di Nganjuk.
Isi poster sangat simple: foto dirinya dengan baju hem putih dan kopiah hitam.
Tidak banyak tulisan di poster itu. Bunyinya hanya: Mas Novi, Calon Bupati. Tidak ada jargon, motto atau pun gelar-gelar. Prinsip-prinsip marketing ia jalankan.
Hasilnya: popularitas Novi tiba-tiba melangit, 70 persen. Dari sebelumnya hanya 8 persen. Partai-partai pun mengincarnya. Terutama PDI-Perjuangan dan PKB.
Tingginya rating Novi membuat ia tidak perlu mencari partai. Kendaraan politik itu datang sendiri. Ia sama sekali tidak perlu membayar mahar ke PDI-Perjuangan.
Tidak juga ke PKB. Ayahnya akrab dengan kyai-kyai utama di PKB.
Hanya saja ia harus menggandeng kader PDI-Perjuangan sebagai wakil. Hasil kerjanya sangat nyata. Hasil surat cinta di dalam buku pelajarannya pun nyata: anaknya lima orang. Yang tertua kuliah di Yaman. Di Darul Mustofa di Kota Tarim. Di sana ia masuk pesantren milik leluhurnya sendiri itu --dari jalur istri Novi.
Yang kedua dan ketiga wanita. Dua-duanya masuk SMK animasi Umar Said yang disponsori Djarum di Kudus. Yang keempat masih tsanawiyah (SMP). Dan yang kelima, masih SD. Dua-duanya di Nganjuk.
Semua anaknya itu lagi menghafal Quran --ikut ibunya yang juga hafal Quran. “Anda hafal Quran juga?” tanya saya kepada Novi. “Saya hafal fulus,” gurau Novi. (dahlan iskan)