JAKARTA - Pidato Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam sidang kabinet beberapa waktu lalu, menjadi pembicaraan publik. Bukan saja lontarannya terkait dengan isu perombakan kabinet, namun juga kekecewaannya terhadap minimnya kesadaran krisis di dalam kabinetnya.
Di waktu yang sama Kementerian BUMN justru memunculkan polemik baru. Menurut temuan Ombudsman, terdapat sebanyak 564 jabatan yang melanggar kepantasan di BUMN. Dengan rincian 397 di BUMN, dan 167 di anak perusahaan BUMN.
Direktur Said Aqil Siroj Institute, M Imdadun Rahmat turut mempersoalkan praktik tersebut. Ia menilai bahwa rapor tata kelola Kementerian BUMN tergolong merah.
Dalam keterangan kepada wartawan, Imdadun prihatin akan temuan pelanggaran berjumlah besar di kementerian ini.
\"Lima ratus lebih temuan itu mengindikasikan parahnya keadaan. Kementerian BUMN itu membawahi aset negara yang bernilai sangat besar, perannya strategis. Sebab melalui BUMN lah negara memenuhi hajat hidup orang banyak. Kalau tidak akuntabel bisa membahayakan negara,\" tutur Imadudin dalam keterangan persnya yang diterima radarcirebon.com, Rabu (1/7).
Menurut mantan ketua Komnas HAM ini, rangkap jabatan sebanyak itu merupakan pemborosan uang negara. Negara akan kehilangan kemampuan memenuhi pelayanan dasar bagi rakyat jika ada inefisiensi.
Dari sisi norma, hal ini merupakan pelanggaran kepantasan dan etika publik. Larangan rangkap jabatan bermakna bahwa seorang pejabat dituntut fokus pada tanggung jawabnya.
Dari sisi manajemen ini menunjukkan buruknya tata kelola. Sedangkan dari sisi fatsun politik, ini menandakan masih kuatnya budaya politik lama yakni politik dagang sapi.
Dalam situasi krisis akibat pandemi Covid-19 fenomena rangkap jabatan di BUMN berseberangan dengan semangat pidato Presiden. Orang nomor satu itu menghendaki adanya sense of crisis. Wujudnya penghematan, kerja cepat, fokus pada tanggungjawabnya, dan akuntabilitas.
\"Temuan Ombudsman ini harus menjadi alarm bagi Pak Eric Tohir. Rangkap jabatan lebih dari 500 kasus menunjukkan ini kebijakan by desain bukan by acsiden. Dalam situasi krisis pandemik begini, ini momentum pembenahan dan bersih-bersih. Para pemimpin BUMN perlu sensitif pada suara publik yang sedang menderita,\" paparnya.
Selain mempersoalkan temuan jabatan yang melanggar kepantasan, Imdadun juga menyinggung tidak adanya progres yang nyata terkait deradikalisasi di BUMN. Selama hampir satu tahun Said Aqil Siroj Institute melakukan pengamatan, lembaga riset ini menilai gerakan pro khilafah secara nyaman dan menyedot dana dari BUMN untuk aktivitas mereka.
\"Sudah satu tahun lalu SAS Institute menyerukan pentingnya langkah nyata deradikalisasi di BUMN. Tapi hingga hari ini tidak ada langkah apa-apa. Kadang kita, aktivis pluralisme, toleransi, lembaga-lembaga yang bekerja untuk pilar kebangsaan ini merasa diremehkan. Di saat kader-kader muda ingin berdakwah dan berkontribusi atas deradikalisasi di BUMN, tidak kunjung dibuka pintunya\" keluh Imdadun.
Dirinya menekankan bahwa, SAS Institute akan terus konsisten menjadi salah satu garda terdepan melawan radikalisme, menguatkan pilar kebangsaan dan meneguhkan kebebasan beragama di Indonesia. \"Kami akan terus berkampanye untuk toleransi, kerukunan dan anti kekerasan. Kami terus memantau lembaga-lembaga negara termasuk BUMN, jangan sampai justru menjadi sarang berkembangnya ideologi yang merongrong negara\" tambahnya.
Ketika ditanya tentang seruan SAS Institute yang diabaikan Kementerian BUMN, Imdadun Rahmat tidak mau berspekulasi untuk menjawab. \"Silakan tanya kepada mereka. Bisa jadi orang-orang di sekitar Pak Eric tidak menganggap menjadi sarang ideologi radikal itu persoalan. Atau bisa jadi justru mereka bagian, atau punya hubungan dekat, atau minimal setuju dengan ideologi macam itu,\" ujarnya.
Publik tentu mengamati dan menilai apa yang dilakukan lembaga negara dan kementerian. Yang diperlukan adalah langkah nyata.