“Sisanya ini masih berkeliaran dan belum kita temukan serta bisa menularkan,” ujarnya.
Hal ini harus diwaspadai. Sebab potensi penularan akan sangat tinggi. Terlebih, penularan TB dan COVID-19 sama-sama melalui droplet atau percikan air liur.
“Tapi perbedaan dua penyakit ini ialah satu akibat virus satu lagi karena kuman,” katanya.
Meskipun obat TB sudah cukup banyak tersedia di berbagai layanan kesehatan, namun angka kematian akibat penyakit tersebut masih tergolong tinggi yaitu 13 orang per jam.
“Sekitar 10 ribu puskesmas dan rumah sakit sudah tersedia obat-obat TB ini,” katanya.
Masih tingginya angka kematian akibat kuman mycobacterium tuberculosis tersebut tidak hanya disebabkan oleh TB sensitif tetapi TB resisten obat (RO) juga masih cukup tinggi.
Dijelaskannya, penyembuhan TB dapat dilakukan dengan meminum obat secara rutin dan teratur selama enam bulan. Jika berhenti atau putus obat, pengobatan mesti diulang kembali dan dapat menimbulkan risiko berupa resisten obat atau dikenal dengan TB RO.
Berbeda dengan TB pada umumnya, TB RO harus mendapatkan pengobatan rutin selama dua tahun dengan kandungan dan dosis obat yang lebih berat. Hal ini dapat berdampak pada penurunan kualitas hidup pasien TB dan juga meningkatnya angka penularan.
Saat ini kementerian terkait memperkirakan terdapat sekitar 24 ribu TB resisten, kemudian TB dengan HIV sebanyak 21 ribu.
“Yang meninggal itu bukan karena HIV tapi karena tuberkulosis,” ujar dia.
Kuman TB pertama kali ditemukan pada 24 Maret 1882 oleh Robert Koch. Sumber penularan penyakit tersebut yakni melalui droplet atau percikan air liur. Selain itu, TB merupakan satu dari 10 penyebab kematian dan penyebab agen infeksius.(gw/fin)