JAKARTA – Satgas Pemulihan dan Transformasi Ekonomi Nasional dalam Perpres 82 tahun 2020 Komite Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPEN) sangat diapresiasi. Tapi implementasinya di luar dugaan. Kerja menteri offside dan kerap membuat gaduh disituasi sulit.
Kendali penanganan Covid-19 sebenarnya akan lebih fleksibel jika di bawah koordinasi Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) maupun Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Sehingga totalitas dalam penanganan dan koordinasi di lingkup pemerintah daerah dan lemabag lebih terpola dalam satu pintu.
”Sekarang Menteri BUMN Erick Thohir begitu dominan. Keterlibatannya luar biasa. Dari memproduksi vaksin, pemulihan ekonomi, sampai suplai anggaran untuk perusahaan plat merah. Lalu Satgas Covid-19 terkesan hanya fokus pada data wabah. Dari yang sembuh, meninggal, sampai suspek. Lalu kemana Menkes, lalu kemana Kemendagri,” terang Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra, Arief Poyuono, Senin (30/8).
Tugas Erick Thohir juga makin berlapis, dari Menteri BUMN sampai menjadi KPEN. ”Apakah amanat Perepres 82 itu demikian. Perusahaan plat merah sudah cukup diberikan suntikan anggaran yang nilainya fantastis. Untuk mempertanggungjawabkannya saja tidak mudah. Ini bahaya!” beber Arief.
Ada baiknya pembagian tugas, relevansinya dengan kementerian dan lembaga yang bersentuhan langsung pada hal-hal yang teridentifikasi dan berdekatan pada bidangnya. ”Peran Kemendagri di sini begitu penting. Akselerasinya bisa ke daerah. Tinggal pencet tombol. Wabah ini bukan hanya kawasan episentrum seperti Jakarta atau daerah tertentu. Daerah lain pun terdampak,” imbuhnya.
Arief juga menyinggung peran Kemenkes yang memunculkan kesan lebih baik diam daripada berbicara atau bertindak salah kaprah. ”Maka sangat wajar jika ada dorongan reshuffle jika memang apa yang menjadi tugasnya tidak bisa dijalankan. Urusan vaksin, seharusnya lebih Terawan. Kemenkes tugasnya bukan hanya tukang stempel yang mengurusi jumlah tenaga medis. Jujur kita belum lihat peran Terawan dalam kondisi saat ini,” terangnya.
Menariknya lagi, sambung dia, sejumlah menteri sudah offside. ”Pak Menkopolhukan sudah terbiasa bicara resesi. Ini menteri yang tidak kompeten ngomong perekonomian kok malah jadi kompor meleduk nakut-nakuti masyarakat dan pelaku usaha. Piye iki (Bagaimana Ini Kang Mas Jokowi? Bukannya membangun trust di masyarakat dan percaya diri disaat pandemi Covid,” tandasnya.
Resesi ekonomi dalam teori pertumbuhan ekonomi itu hanya sekadar hitungan statistik yang disajikan oleh BPS dalam bentuk indeks pertumbuhan ekonomi yang mana dalam pertumbuhan ekonomi dalam dua kwartal dalam satu tahun berturut turut pertumbuhan ekonomi mengalami pertumbuhan minus.
”Resesi ekonomi yang dimaksud itu sebenar bukan sebuah fakta yang real kalau ekonomi negara itu mengalami kesulitan. Apalagi Indonesia yang 56,7 persen kegiatan underground ekonomi atau sektor informal tidak terhitung oleh BPS saat melakukan survei untuk menghitung Produk domestik Bruto ( PDB),” timpalnya.
Tentu saja, sambung Arief banyak indikator sisi konsumsi masyarakat yang jadi faktor terbesar dalam pertumbuhan ekonomi tidak terhitung secara akurat terutama komsumsi barang dan jasa yang dihasilkan oleh sektor informal dan kegiatan under ground ekonomi di Indonesia.
Contoh saja BPS tidak pernah menghitung masker sebagai APD yang di produksi oleh UKM atau informal yang mana saat Covid-19 mayoritas masyarakat banyak mengunakan masker yang diproduksi oleh UKM dibandingkan yang diproduksi Pabrik.
”Jadi tolong menteri Jokowi jangan bikin gaduh terkait keadaan ekonomi nasional, kerja saja percepat semua program penyelamatan ekonomi nasional, jangan malah nakutin masyarakat dengan data data yang enga benar,” paparnya. (fin/ful)
Tonton video berikut: