Bantuan Subsidi Upah Munculkan Keganjilan

Jumat 11-09-2020,12:00 WIB
Reporter : Leni Indarti Hasyim
Editor : Leni Indarti Hasyim

JAKARTA – Pemerintah melalui Kementerian Koordinator (Kemenko) memberikan sinyal jika subsidi gaji sebesar Rp600 ribu per bulan bagi pekerja bergaji di bawah Rp5 juta hingga kuartal II 2021. Sinyal ini direspon positif, tapi di balik subsidi tersebut ternyata memantik kesenjangan yang cukup besar.

Direktur Political and Public Policy Studies (P3S) Jerry Massie mengatakan andil besar pemerintah dalam penanganan dampak Covid-19 patut diapresiasi. Khususnya bantuan subsidi upah (BSU). Namun pemerintah tidak pernah secara gamblang memberkan, dari mana kalkulasi angka Rp600 ribu itu diperoleh.

”Ukurannya apa sih kok muncul angka itu. Yang namanya subsidi tentu ada variabel yang menguatkan. Apakah prosentase dari Upah Minimum Regional (UMR), atau Upah Minimum Provinsi,” terang Jerry Massie kepada Fajar Indonesia Network (FIN) Kamis (10/9).

Pertanyaan selanjutnya apakah semua pekerja yang mayoritas terpotong gajinya akibat wabah benar-benar ter-cover. ”Saya yakin Menko Airlangga tidak tahu secara spesifik rate subsidi itu dan apakah benar-benar diterima oleh mayoritas pekerja. Apalagi Presiden Jokowi. Ini ada kerentanan dan kesenjangan, Pak Presiden jangan mudah percaya dengan laporan, ada baiknya cek and ricek,” ungkapnya.

Publik, sambung Jerry, sangan berharap pemerintah terbuka dengan munculnya perhitungan dan penerima subsidi gaji yang dimaksud. Semua anggaran harus terbuka dan akuntabel.

”Jangan sampai ada istilah window dressing permainan laporan keuangan. Ada beberapa informasi yang saya terima, jika sebuah perusahaan menungak pembayaran BPJS Ketenagakerjaan maka karyawannya tidak mendapatkan subsidi itu. Saya rasa ini tidaklah adil,” timpalnya.

Jerry meyakini perusahan tidak membayarkan iuran Jamsostek atau asuransi ketenagakerjaan, lantaran perusahaan memang mengalami kesulitan setelah wabah menerjang sendi ekonomi kita. ”Kalau ada pengecualian, lagi-lagi kami memandang ini memunculkan kesenjangan. Pesan ini harus sampai ke Presiden dan Menkonya, atau pura-pura ngak tahu,” ungkapnya.

Terpisah, Ketua Koordinator Nasional Masyarakat Peduli Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (KORNAS MP-BPJS) Hery Susanto merespon program BSU. Program tersebut dipercaya akan membantu kesulitan para pekerja bergaji rendah di tengah wabah Covid-19. Selain itu, juga diharapkan dapat mendongkrak daya beli masyarakat.

Sebagaimana diketahui, pemerintah menggelontorkan anggaran sebesar Rp37,7 triliun untuk memberikan bantuan subsidi upah kepada 15,7 juta pekerja yang bergaji di bawah Rp5 juta. Bantuan sebesar Rp600 ribu per bulan diberikan selama 4 bulan atau sebanyak Rp2,4 juta. Dan pencairannya dilakukan dua tahap, masing-masing Rp1,2 juta.

Namun berdasarkan pantauan pihaknya dari presentasi Direktur Kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan atau sebutan lainnya BP Jamsostek pada 24 Agustus lalu di DJSN RI tercatat bahwa jumlah pekerja di Indonesia sebesar 92,45 juta orang terdiri dari pekerja formal dan pekerja informal.

Hery memaparkan informasi yang diperoleh pihaknya dari BPJS Ketenagakerjaan bahwa peserta BPJS Ketenagakerjaan terdaftar sebanyak 49,65 juta orang. Mereka  terdiri dari pekerja penerima upah (PPU) 39,65 juta orang (termasuk PMI sebanyak 459,132 orang), Jasa konstruksi (jakon) sebesar 7,6 juta orang), bukan penerima upah (BPU) sebesar 2,4 juta orang.

Katagori kelompok PPU 39,65 juta tersebut berstatus peserta aktif 48% yaitu 19,1 jt orang dan peserta tidak aktif sebesar 52% yakni berjumlah 20,6 juta orang. ”Peserta aktif 19,1 juta tersebut terdapat 15,7 juta orang dengan upah di bawah Rp 5 juta.  Mereka berpotensi mendapatkan bantuan subsidi upah (BSU) dari pemerintah pada akhir Agustus 2020,” kata Hery Susanto.

Peserta  BPJS Ketenagakerjaan yang upahnya di atas Rp5 juta terdapat 3,4 juta orang. ”Pertanyaannya, akankah upah pekerja yang menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan itu sesuai dengan yang diterima atau hanya bersifat laporan administratif saja? Sebab laporan upah pekerja Peserta BPJS Ketenagakerjaan berpengaruh dalam menentukan kewajiban jumlah iuran BPJS ketenagakerjaan,” jelasnya.

Jika upah yang dilaporkan besar maka akan besar pula kewajiban iurannya. Dengan demikian banyak pemberi kerja yang tidak melaporkan upah riil pekerjanya sebab berpengaruh terhadap kewajiban iuran yang mesti dibayar ke BPJS ketenagakerjaan.

Menurut Hery Susanto data tersebut menyimpulkan bahwa mayoritas 82% peserta BPJS ketenagakerjaan mempunyai upah di bawah Rp5 juta. Ini bisa diartikan bahwa mayoritas pesertanya berhak menerima bantuan subsidi upah (BSU) dari pemerintah. Meski fakta riil di lapangan banyak pekerja yang upahnya lebih besar dari yang dilaporkan ke pihak BPJS Ketenagakerjaan. Artinya laporan upah yang diterima pihak BPJS lebih banyak bersifat administratif.

Tags :
Kategori :

Terkait