Manajemen Guru Tak Sinkron dengan Kurikulum Merdeka
Manajemen Guru Tak Sinkron dengan Kurikulum Merdeka-Dikdasmen-radarcirebon
Oleh: Gita Handayani
Manajemen Pendidikan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah
Bayangkan seorang pilot handal diberi kebebasan memilih rute penerbangan, namun tak pernah mendapat pelatihan membaca radar cuaca modern. Kemandirian itu bukannya membebaskan, justru menjerumuskan.
Analogi itu tepat menggambarkan dilema puluhan ribu guru Indonesia hari ini, yang dihadapkan pada tuntutan Kurikulum Merdeka dengan segala fleksibilitasnya, sementara sistem manajemen guru di tingkat akar rumput masih terkunci pada paradigma lama yang kaku dan serbauniform.
Situasi yang melatarbelakangi permasalahan ini sesungguhnya telah menjadi buah bibir lama di kalangan pendidikan. Kurikulum Merdeka, yang diusung sejak 2022, menempatkan guru sebagai perancang pembelajaran aktif yang harus mampu melakukan diagnostik literasi-numerasi, merancang proyek penguatan profil pelajar Pancasila (P5), dan melakukan asesmen formatif yang autentik.
BACA JUGA:Besok! Bergerak Sehat, 2 Umrah Menanti: Senam Masal HUT Ke-26 Radar Cirebon Bersama Dahlan Iskan
Data Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menunjukkan bahwa hingga awal 2024, lebih dari 300.000 satuan pendidikan telah mengimplementasikan kurikulum ini.
Namun, di balik angka optimistis ini, riset dari Inovasi untuk Anak Sekolah Indonesia (INOVASI) pada 2023 mengungkap gap mengkhawatirkan: sekitar 65% guru di daerah mitranya merasa tidak cukup siap untuk mengelola pembelajaran diferensiasi, sebuah konsep kunci dalam Kurikulum Merdeka.
Kondisi ini diperparah oleh beban administratif yang tidak berkurang. Survei Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) di 34 provinsi pada tahun yang sama menemukan bahwa 72% guru masih menghabiskan lebih dari 4 jam per minggu hanya untuk menyusun dokumen administratif yang seringkali tak langsung berkaitan dengan interaksi pembelajaran di kelas.
Tugas yang diemban guru dalam transisi kurikulum ini begitu kompleks dan multitugas. Mereka tidak hanya harus menguasai konten baru, tetapi juga menjadi fasilitator, diagnostician, dan project manager sekaligus. Sayangnya, dukungan manajerial yang seharusnya menjadi fondasi justru kerap tidak ada. Contoh nyata dapat dilihat dari pola pelatihan yang masih bersifat massal dan sekali waktu, alih-alih berkelanjutan dan kontekstual.
BACA JUGA:Ketahanan Keluarga Era Digital Jadi Sorotan Puncak HKG PKK ke-53 Kota Cirebon
Selain itu, jadwal pelatihan kerap bentrok dengan tugas mengajar, sehingga guru harus memilih antara meninggalkan kelas atau kehilangan kesempatan pengembangan diri. Lebih parah lagi, kebijakan di tingkat sekolah seringkali tidak selaras. Seorang guru yang berusaha kreatif menerapkan pembelajaran berdiferensiasi justru dihadapkan pada tuntutan kepala sekolah untuk menyamakan RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) dengan rekan sejawat, atau dibebani dengan tugas tambahan seperti piket administrasi yang menyita waktu persiapan mengajarnya.
Alhasil, kemandirian yang diidealkan berubah menjadi beban psikologis yang memicu kelelahan kronis (burnout). Studi kualitatif oleh Amri et al. (2023) dalam Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan menggambarkan fenomena ini sebagai "kegelisahan dalam kebebasan", di mana guru merasa terbebani oleh otonomi yang diberikan karena tidak diiringi dengan scaffolding yang memadai dari sistem.
Tindakan yang telah diambil pemerintah, seperti platform Merdeka Mengajar dan program Guru Penggerak, patut diapresiasi. Platform digital itu telah diakses oleh jutaan guru. Namun, efektivitasnya terhambat oleh persoalan mendasar: kapasitas dan budaya kerja. Banyak guru, terutama di daerah 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal), masih terkendala akses internet dan literasi digital.
Sementara itu, program Guru Penggerak yang telah meluluskan sekitar 28.000 orang hingga 2024 (data Kemendikbudristek) ibarat batu pertama dalam membangun gunung. Jumlah itu masih sangat kecil dibandingkan total lebih dari 3 juta guru di Indonesia. Mereka yang telah menjadi Guru Penggerak pun seringkali kehilangan momentum karena kembali ke ekosistem sekolah yang tidak mendukung, sehingga ilmu dan semangat yang dibawa perlahan pudar.
BACA JUGA:Peringati Hari Juang TNI AD, Korem 063 SGJ Ajak Prajurit dan Masyarakat Berdoa Bersama
Pelatihan daring masif pun punya kelemahan, yaitu minimnya pendampingan dan umpan balik (coaching) yang justru krusial untuk perubahan praktik. Akibatnya, yang terjadi adalah perubahan kulit, bukan perubahan kultur. Pembelajaran kontekstual dan berdiferensiasi hanya menjadi jargon dalam RPP, sementara di kelas, metode ceramah dan pembelajaran satu arah masih dominan karena itu adalah zona nyaman yang paling mungkin dikelola di tengah tumpukan kewajiban lain.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:


