Hadiah Natal

Hadiah Natal

Tiongkok kelihatannya belum berani \'\'jalan\'\' sebelum penemuannya itu disetujui oleh WHO - -badan kesehatan dunia. Padahal Tiongkok sudah lebih dulu menemukan vaksin Covid-19. Bahkan tiga perusahaan sekaligus berlomba mencapai garis finis di ujicoba tahap tiga.

Indonesia, yang sudah telanjur memutuskan menggunakan vaksin dari Tiongkok, kelihatannya juga masih terjebak di izin WHO itu. Indonesia pasti tidak berani melakukan vaksinasi sebelum ada izin WHO itu.

Kembali ke Amerika. Bagaimana bisa sudah bisa melakukan vaksinasi di bulan Januari? Bukankah izinnya baru akan keluar sebelum Natal? Kapan bangun pabriknya? Kapan pula memproduksinya?

Di situlah peran Jenderal Gustave F Perna. Operasi WS yang ia pimpin itu berani mengambil risiko \'\'rugi uang\'\' asal tidak rugi waktu.

Ketika pabrik-pabrik tersebut masih di tahap riset, operasi WS sudah menggelontorkan uang untuk membangun pabrik. Lengkap dengan mesin-mesin produksinya.

Memang pabrik dan mesin itu akan sia-sia kalau vaksin tidak berhasil ditemukan. Tapi itulah yang namanya risiko.

Pfezer sendiri ternyata tidak mau mendapat uang gratis dari pemerintah itu. Pabrik mereka sudah sangat besar. Barangkali tinggal menambah beberapa fasilitas saja. Mesin-mesin di pabrik obat pada dasarnya bisa dipakai untuk beberapa jenis obat sekaligus.

Mengapa Pfizer tidak mau ambil dana gratis pemerintah? Yang jumlahnya —untuk Pfizer sendiri— mencapai Rp25 triliun?

\"Kami tidak mau kebebasan ilmiah ilmuwan-ilmuwan kami diikat oleh aturan birokrasi,\" ujar CEO Pfizer kepada media di Amerika.

Tapi bukan berarti dana itu tidak mengalir ke Pfizer. Alokasi Rp 25 triliun itu tetap diterima Pfizer. Hanya saja dibukukan sebagai uang pembelian vaksin.

Maka produksi vaksin pertama Pfizer sebanyak 100 juta unit di bulan Januari, telah menjadi hak kementerian kesehatan Amerika.

Kelihatannya barang itu hari-hari ini pun sudah mulai diproduksi. Januari nanti 100 juta unit itu sudah bisa dikirim. Tinggal menunggu izin FDA tadi.

Di bidang teknologi dan obat, Amerika memang bisa menentukan nasibnya sendiri. Izin FDA adalah cukup. Langsung bisa dipasarkan.

Tiongkok sebenarnya juga punya sejenis FDA. Indonesia pun juga punya BPOM. Tapi lembaga-lembaga itu masih tergantung pada WHO. Sedang FDA merasa lebih berkuasa dari WHO.

Itu mirip dengan perizinan di industri pesawat terbang. Amerika memiliki lembaga FAA. Meski itu milik Amerika, dalam praktiknya sudah dianggap yang berkuasa di dunia. Sehebat-hebat BJ Habibie membuat pesawat terbang akhirnya tidak ada yang mau membeli kalau izin terbang dari FAA tidak keluar.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: