UMK Jabar Perlu Dikaji Ulang, Penetapan Telah Mengacu pada Inflasi dan LPE
CIREBON - Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil beberapa waktu lalu telah mengetuk palu penetapan UMK Jabar di 2021. Dalam keputusan tersebut, dari 27 kota/kabupaten, sebanyak 10 kota/kabupaten besaran UMK-nya tetap mengacu pada UMK 2020 atau tak mengalami kenaikan.
Sedangkan sisanya ada kenaikan yang didasarkan pada inflasi dan juga LPE baik secara nasional, provinsi, kabupaten/kota. Menyikapi hal ini, Satgas Pemulihan Ekonomi ini pun menggelar bincang media dalam solusi pemulihan ekonomi di sektor tenaga kerja melalui Zoom Meeting.
Baca Juga: Mayoritas UMK di Jabar Naik, Hormati Hasil Musyawarah UMK Depeko
Wakil Ketua DPP APINDO, Dedi Widjaja dalam kesempatan tersebut mengungkapkan sebagai pengusaha pihaknya merasa tak rugi ada kenaikan UMK, karena otomatis daya beli akan ikut pula naik. Namun menurutnya hal penetapan UMK ini harus bisa juga melihat daerah lainnya. \"Harus pertimbangkan UMK saat ini, kalau tidak Indonesia tak akan punya pengusaha atau entrepreneur baru melihat kondisi dan keputusan saat ini,\" ungkapnya.
Pihaknya memohon penetapan UMK bisa dilakukan dengan mempertimbangkan kepentingan nasional dan ketahanan industri agar tenaga kerja terserap, bisa menyelamatakan devisa. Bila dilihat kembali, dari keputusan saat ini ada beberapa daerah yang bisa diubah seperti Cianjur juga Subang.
Baca Juga: Daftar UMK Jabar Tahun 2021, yang Tertinggi Daerah Ini
Menurutnya Subang bisa berubah karena yang disepakati nilai UMK awal bukan yang disepakati saat ini. Karawang juga menjadi kota yang terus menerus menjadi juara upah tertinggi perlu disoroti. Sebab, hingga hari ini tidak ada industri garmen yang berjalan. Kondisinya pun saat ini masih kembang kempis. \"Kenaikan yang luar biasa perlu dipertimbangkan dan tindak lanjut,\" tegasnya.
Salah satu yang diajukan menjadi solusi dalam Zoom Meeting tersebut adalah upah minimum padat karya. Namun Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Disnakertrans Provinsi Jawa Barat Rachmat Taufik Garsadi menuturkan upah minimum padat karya sudah tidak dikenal lagi.
Struktur skala upah sudah harus ditetapkan. Hal ini dimaksudkan untuk mendorong produktivitas untuk meningkatkan daya saing, sehingga tidak ada lagi upah murah. \"Kesejahteraan burut didapat, perusahaan pun bisa diangkat,\" terangnya.
Penetepan upah di Jawa Barat pada prinsipnya merujuk kepada perhitungan inflasi dan pertumbuhan. Dihitung dari periode September tahun sebelumnya sampai dengan September tahun berjalan.
Sedangkan pertumbuhan PDB adalah harga konstan yang dihitung dari PDB yang mencakup periode kuartal III dan IV tahun sebelumnya dan periode kuartal I dan II tahun berjalan yaitu 3,2 persen.
Selanjutnya yang menjadi rujukan adalah Surat Edaran Menteri Ketengakerjaan RI Nomor M/11/HK.04/X/2020 tanggal 26 Oktober 2020 tentang penetapan Upah Minimum tahun 2021 pada Masa Pandemi Corona VIrus Disease 2019 (Covid-19) dan Edaran Gubernur Jawa Barat Nomor: 561/4795/Hukham tanggal 31 Oktober 2020 Penetapan Upah Minimum Tahun 2021 pada Masa Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).
\"Angka kenaikan bervariasi sesuai perhitungan yang dilakukan DePeKab/Kota yang direkomendasikan oleh bupati dan walikota. Gubernur hanya menetapkan tidak menambah dan mengurangi sedikitpun karena itu ranah Kab/Kota yang paham akan kondisi wilayahnya,\" jabarnya.
Sementara itu, Sekretaris Satuan Tugas Pemulihan Ekonomi Jabar Ipong Witono mengungkapkan kondisi yang saat ini sedang tidak normal harus bisa disikapi bersama. Pihaknya berharap bisa diambil jalan tengah dalam keputusan ini.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: