Catatan Selepas Rapimnas BPD: Wadah Aspirasi yang Kehilangan Fungsi
JAUH sebelum Undang-undang Desa disahkan, muncul kekhawatiran dari banyak kalangan bahwa kebijakan transfer dana langsung dari pusat ke desa akan lebih banyak mudarat alih-alih manfaat. Jumlah uang yang tidak sedikit dan terbatasnya SDM (Sumber Daya Manusia) untuk mengelola tanggung jawab besar, justru akan menjerat masyarakat dan pemerintah desa pada tuntutan hukum. Lebih parah dari itu, UU Desa justru akan melahirkan koruptor-koruptor baru di level desa.
Tentu pada akhirnya banyak kalangan lantas menunda kekhawatiran-kekhawatiran tersebut. Terbukti kemudian UU Desa disahkan pada 15 Januari 2014.
Setidaknya ada dua hal yang mendasarinya. Pertama, adanya asas yang hari ini kita kenal sebagai asas Rekognisi dan asas Subsidiaritas. Kedua asas tersebut menguatkan posisi desa sebagai pemerintahan otonom dan mengarahkan bagaimana cara pemerintahan pusat memperlakukannya. Kemudian yang berikutnya, alasan kenapa UU Desa ini tetap disahkan, yakni adanya spirit dan harapan baru tentang cara desa membangun masyarakatnya. Disadari atau tidak, suka atau tidak, muara dari kepercayaan yang mendasari pelaksanaan UU Desa akhirnya dikembalikan kepada masyarakat itu sendiri: kepada lembaga yang difungsikan menjaga marwah kedaulatan masyarakat desa yakni Badan Permusyawartan Desa (BPD).
Tapi hari ini kita tahu, enam tahun implementasi UU Desa menunjukkan banyak kelemahan dari sisi pengawasan Dana Desa. Indonesia Corruption Watch (ICW) menemukan 110 kasus korupsi Dana Desa sepanjang 2016 hingga Agustus 2017, dengan kerugian negara ditaksir meningkat dari 10,4 miliar rupiah pada 2016 menjadi 30 miliar rupiah pada 2017. Sederet kasus tersebut belum ditambah dengan yang terjadi belakangan ini, seperti munculnya desa siluman dan lain sebagainya.
Data tersebut menimbulkan kekhawatiran banyak pihak terhadap efektivitas pemanfaatan Dana Desa. Pemerintah merespons situasi ini secara reaktif dengan membuat nota kesepahaman (MoU) yang membuat seluruh Kapolsek (Kepala Polisi Sektor) di Indonesia melibatkan diri dalam pengawasan Dana Desa. Bahkan Sejumlah lembaga lain pun turut serta dalam proses pengawasan tersebut, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kejaksaan RI, dan lembaga pemerintah maupun non-pemerintah seperti LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) dan Ormas (Organisasi Masyarakat).
Saya tidak sedang meyakini bahwa keterlibatan banyak pihak dalam pengawasan Dana Desa adalah baik atau buruk. Tetapi perlu ditegaskan bahwa kebijakan reaksioner tersebut pada akhirnya membawa efek samping: menciptakan situasi “berburu” dan memosisikan pemerintah desa dan masyarakat di dalamnya semata-mata sebagai objek. Lebih parah, jika pengawasannya tanpa ada mekanisme yang bisa dipertanggungjawabkan. Hanya memosisikan desa sebagai “sapi perah” bagi oknum dan kelompok yang berlagak penting mengawasi Dana Desa. Hal yang justru sangat bertolak belakang dengan spirit UU Desa yang ingin menjadikan desa sebagai subjek pembangunan.
Pertanyaannya kemudian, bagaimana seharusnya kebijakan terkait pengawasan implementasi UU Desa diberlakukan?
Dinamika Saling Jaga Dana Desa
Mekanisme pengawasan Dana Desa yang selama ini dipraktikan, lebih dominan pada akuntabilitas vertikal. Mengandalkan institusi-institusi supra-desa yang secara struktur dan histori lepas dari desa dan kepedulian kolektif masyarakatnya. Padahal yang mesti diperkuat juga adalah praktik pengawasan akuntabilitas sosial ke bawah. Pengawasan yang melibatkan masyarakat langsung melalui lembaga dan forum yang secara organik hidup dan dihidupi masyarakat setempat.
Di titik ini lah peran BPD diuji. Lembaga yang peran dan fungsinya dibangun dengan pondasi UU Desa dan dinaungi Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 ini, semestinya menjadi ujung tombak implementasi pengawasan Dana Desa.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: