Sulit Vaksin
PEMERINTAH memang harus lebih sabar —pun soal vaksinasi. Saya sendiri sudah mencoba tapi memang tidak mudah. Begitu banyak alasan yang mereka sampaikan untuk tidak percaya vaksinasi. Umumnya mereka terpengaruh medsos.
Saya coba jelaskan satu per satu apa saja yang mereka ragukan. Dengan penjelasan singkat tapi telak. Toh mereka berpendidikan sarjana. Satu persoalan selesai —mereka tidak bisa membantah lagi— dimunculkan keraguan kedua. Saya coba jelaskan lagi. Selesai? Belum. Mereka munculkan terus keraguan yang lain. Terus begitu.
Saya mencoba untuk tidak emosi. Saya menyadari itulah realitas masyarakat kita. Tapi akhirnya, di ujung pembicaraan yang panjang itu, saya tidak bisa lagi menjelaskan apa-apa. Yakni ketika akhirnya mereka mendasarkan keraguan itu dengan alasan ayat-ayat Alquran.
Saya memang lulusan Madrasah Aliyah. Tapi kalau saya harus terlibat perdebatan soal ayat-ayat Alquran, saya pilih diam.
Terlalu banyak energi yang akan terkuras. Harus ada cara lain yang lebih bijaksana menghadapi kenyataan seperti itu. Maka untuk vaksinasi pertama di Indonesia nanti —minggu depan— pasti sudah diputuskan.
Siapa saja yang mendapat vaksin pertama. Tentu tidak hanya Presiden Jokowi. Tentu juga tokoh-tokoh agama yang kredibel. Dan itu bukan hanya problem Indonesia. Jadi, tenang saja. Itu problem seluruh dunia.
Sampai Paus di Vatikan pun harus mengeluarkan fatwa “halal” vaksinasi Covid-19 bagi umat Katolik.
Bahkan di Amerika sampai terjadi sabotase. Yang melakukan justru seorang apoteker. Disebut sabotase karena ia dengan sengaja melakukannya. Namanya: Stephen Brandenburg. Umur: 46 tahun. Pengalaman kerja: 23 tahun sebagai apoteker.
Di malam tahun baru kemarin Brandenburg ditangkap. Juga dipecat dari rumah sakit tempatnya bekerja: di kota kecil sekitar 25 menit di utara kota besar Milwaukee. Ia mengaku dengan sengaja mengeluarkan 10 dos vaksin Moderna (berisi 570 unit) dari tempat penyimpanan. Yakni pada tanggal 24 petang. Tepat di malam Natal yang lalu.
Maksudnya: agar rusak. Itu ia akui sendiri di sidang pengadilan pertama dua hari lalu. Yang menemukan kejadian itu seorang teknisi rumah sakit tersebut. Kok ini ada vaksin di luar tempat penyimpanan. Tertulis di situ bahwa sampai tanggal 26 Desember seharusnya masih disimpan —untuk disuntikkan pada tanggal itu.
Selalu saja ada karyawan yang rajin bekerja di malam sepi seperti itu. Di mana-mana. Pun penuh inisiatif pula. Secara pribadi Brandenburg mengatakan ia tidak percaya vaksin itu aman. Vaksin itu, katanya, bisa merusak DNA pemakainya.
Padahal penjelasan ilmiah sudah disebarluaskan: tidak akan merusak DNA manusia. Tapi memang begitu kenyataan di masyarakat. Termasuk di negara semaju Amerika.
Yang anti vaksin buatan Amerika punya alasan sendiri. Yang anti vaksin Tiongkok juga punya alasan lebih banyak. Sampai membawa-bawa kitab suci. Maka saya tersenyum ketika Butce Lie (baca Disway kemarin) mewawancarai dokter Lukas yang baru menjalani vaksinasi di Los Angeles.
Pertanyaan awal Butce itu tidak saya duga: apakah terasa ada chip yang ikut dimasukkan bersama vaksin? Lukas kelihatan tidak paham maksud pertanyaan itu. Mungkin ia bukan aktivis gereja karismatis. Tapi bagi Butce, pertanyaan seperti itu ia anggap menarik. Itu karena ia berada di lingkungan gereja yang isu chip ini sangat hot. Banyak yang percaya bahwa vaksin ini —dan virus itu— diciptakan oleh kelompok anti-Kristus. Orang dibuat terpaksa menjalani vaksinasi. Agar bisa dipakai sarana untuk memasukkan chip ke dalam badan semua orang. Chip itu didesain untuk mengendalikan otak agar orang tidak percaya lagi pada Yesus Kristus.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: