Gading Seno
ENAM hari di rumah sakit saya tidak menghidupkan TV sama sekali. Memang sudah hampir 5 tahun saya praktis tidak nonton TV lagi. Di sela-sela pemeriksaan oleh dokter, minum obat, infus, dan cuci celana dalam, saya punya hiburan sendiri: nonton Seno Nugroho. Lucu sekali. Bisa membuat saya sering tertawa.
Sehari saya bisa nonton tiga lakon. Masing-masing dua jam. Durasi itu seperti film di Netflix —yang bisa mendebarkan— atau Drakor —yang bisa membuat pilu. Tertawa, hatta, lebih baik dari berdebar atau pilu —untuk melawan Covid-19.
Anda tentu sudah tahu: dalang Seno Nugroho baru saja meninggal dunia. Tiga bulan lalu. Masih relatif muda: 48 tahun. Penyebab: sakit jantung. Seno seperti Marilyn Monroe atau Elvis Presley: meninggal di saat top-top-nya. Di puncak kejayaannya. Antara lain berkat infrastruktur modern: YouTube, live streaming, dan Wi-Fi.
Umurnya pendek. Tapi dalang Seno telah bikin sejarah. Ia bukan tipe orang yang sekali mati berhenti. Seno-lah dalang pertama yang bisa ditanggap —di order untuk show— secara online. Lalu ia mendalang secara live streaming. Setelah itu diposting di YouTube.
Yang menonton mengalahkan dalang siapa pun di jagad raya: ada yang 800.000 lebih. Setiap kali YouTube-nya muncul, puluhan ribu yang mengakses. Lalu ratusan ribu. Padahal belum setahun. Mungkin ia hanya kalah dengan satu dalang: dalang kerusuhan.
Saya memang membawa portable Wi-Fi ke rumah sakit. Jadi saya bisa bebas akses ke mana saja. Dua hari lalu saya ikut seminar Zoom tentang ekonomi. Yang pembicaranya Rizal Ramli, Didik J Rachbini, Anthony Budiawan, Salamuddin Daeng, dan Philip Widjaya.
Tapi itu hanya membuat saya sedih. Angka-angka ekonomi yang dipaparkan tidak ada yang menghibur. Sama sekali. Bahkan digambarkan tahun ini akan sangat-sangat parah. Habis seminar saya langsung nonton Seno Nugroho lagi. Agar cepat tertawa lagi. Lakon yang saya pilih: Ontoseno Mencari Siapa Bapaknya. Rupanya itu lakon campuran. Di-mix dengan lakon Kawinnya Poncowolo bin Puntodewo dengan Dewi Pergiwati binti Arjuna\".
Perkawinan itu nyaris batal gara-gara Pandita Durna —yang ingin menjodohkan Pergiwati dengan Lesmana yang banci, anak raja Astina. Ayah Pergiwati pun membatalkan perkawinan itu. Ayah Poncowolo yang pendiam itu gemuruh hatinya. Sampai menjelma jadi raksasa sebesar tujuh gunung jadi satu.
Poncowolo sendiri hancur hatinya. Ia curhat ke Petruk, abdinya. Petruk cuek bebek. “Yang penting bukan Pergiwati yang memutus cinta,\" ujar Petruk. \"Begini saja. Curi saja pengantin wanitanya. Bawa lari,” nasihat Petruk.
Petruk lantas meyakinkan Poncowolo. “Itu, Bethara Krisna yang titisan Dewa Wishnu, dulu juga kawin lari,\" ujar Petruk. Saat bicara begitu Krisna diam-diam ada di belakangnya. Petruk tidak menyadari kehadiran Krisna. Petruk terus nerocos.
“Krisna itu kan istrinya tiga. Tiga-tiganya hasil curian,\" ujar Petruk. \"Ayo, saya bantu mencuri Pergiwati,” tambahnya. Ia pun membalik badan, mau berangkat ke desa Madukara, tempat Arjuna memingit Pergiwati.
Dari lakon ini saya baru tahu kisah pertama Antasena bertemu ayahnya, Bimasena.
Antasena adalah anak Bimasena dari istri yang anak Dewa ular. Karena itu kulit Antasena bersisik. Dunia wayang seperti menggambarkan zaman ketika dunia masih di awal perkembangan manusia. Ada perkawinan antara ular dan manusia, kera dan manusia, kuda dan manusia.
Semua jenis makhluk hidup bersama. Saling bantu dan saling bunuh. Ada kera baik, ada manusia jahat. Semua itu dibawakan Seno dengan humor dan spontanitas yang selera tinggi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: