Tanpa Angpao
Teman saya itu minta-minta kepada istri agar keinginan itu dibatalkan. Wabah kian buruk. Tapi sang istri berkeras. Maka sore itu mereka bermobil ke rumah orang tua suami dulu. Di desa. Sekitar 2 jam dari rumahnya. Setelah sungkem pada orang tua suami, mereka langsung tancap gas ke bandara. Mereka dapat pesawat jam 7 malam. Penerbangan itu satu jam.
Jam 9 malam mereka baru keluar dari bandara tujuan. Keadaan wabah sudah berkembang kian berat. Pembatasan-pembatasan sudah terjadi di kampung istri. Mereka juga tidak mau menerima kedatangan orang luar. Keluarga istri tidak jadi ada yang menjemput ke bandara. Perkembangan wabah berubah drastis dalam 12 jam terakhir.
Maka malam itu mereka tinggal di hotel. Dekat bandara. Ngototnya sang istri —untuk bisa bermalam tahun baru di kampung halaman— berakhir di hotel sepi. Menurut rencana mereka hanya akan 2-3 hari di situ. Tapi wabah kian gawat. Tidak ada lagi penerbangan balik. Mereka akhirnya balik naik kereta api. Mumpung kereta juga belum dihentikan. Kebetulan jalur kereta itu tidak harus lewat stasiun Wuhan.
Setelah 4 bulan lock down Wuhan normal kembali. Seluruh Tiongkok terbebas dari pandemi. Semua penerbangan sudah beroperasi normal. Demikian juga kereta api. Kasus-kasus baru Covid-19 memang masih ada. Tapi kisaran angkanya hanya belasan. Sempat beberapa hari, bulan lalu, mendekati 100/hari. Tapi segera kembali lagi ke angka belasan.
Umumnya itu datang dari penumpang pulang dari luar negeri. Apakah nanti malam ia akan makan malam bersama? “Kemarin saya sudah bertemu orang tua. Nanti malam di rumah saja. Istri juga tidak ingin pulang kampung lagi,” ujar teman saya itu.
Mengapa nanti malam tidak ke kampung orang tua? “Sekarang saya ini kan pengurus partai. Saya harus tunduk pada peraturan partai. Untuk membatasi diri di tahun baru ini,” katanya.
Demikian juga soal petasan. Ia tidak akan membunyikan petasan. Padahal budaya di sini seharusnya membunyikan petasan. “Setelah pulang dari makan bersama orang tua, kami harus membunyikan petasan di depan pintu,” katanya. Itulah petasan “tutup pintu”. Begitu rangkaian petasan meletus mereka masuk rumah. Tutup pintu. Lalu tidur. Petasan itu dimaksudkan agar roh-roh jahat tidak ikut masuk rumah.
Besok paginya, begitu bangun tidur, pekerjaan pertama adalah membuka pintu. Sambil meletakkan petasan di depan pintu. Untuk diletuskan pagi itu. Itulah petasan “pembuka pintu”. Sewaktu di Tiongkok, jam 10 pagi pun saya masih mendengar ada petasan meletus. Pertanda itu dari rumah yang bangunnya kesiangan.
Di Surabaya, saya menghubungi beberapa keluarga Tionghoa. Saya pun bertanya: bagaimana dengan acara makan malam di rumah orang tua nanti malam. “Biasanya yang ikut makan 15 orang. Nanti malam mungkin hanya 5 orang. Yakni yang ada di rumah ini saja,” ujar Soedomo. Ia pemilik kopi Kapal Api. Yang terbesar di Indonesia itu. Yang juga tokoh Konghucu. Yang dua bulan lalu berhasil mendamaikan pertengkaran seru yang terjadi di kelenteng legendaris Tuban.
Yang tahun ini juga berubah adalah soal angpao (hong bao). Di hari pertama dan kedua Imlek —besok dan lusa— biasanya ramai sekali. Yang muda pergi ke rumah kerabatnya yang lebih dituakan. Bersama anak mereka. Tentu besok pagi, di suasana pandemi, tidak ada lagi anak-anak yang datang ke rumah kerabat. Yang biasanya, mereka itu, harus diberi amplop merah. Bukan amplopnya yang penting, tapi isinya. Inilah Imlek tanpa angpao —kecuali dikirim via online. Setidaknya gambar amplop merahnya. (dahlan iskan)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: