Elizabeth Kurniawan

Elizabeth Kurniawan

Itu tahun 2016.

Hampir bersamaan dengan keruntuhan Elizabeth.


Sejak SMA, Elizabeth sudah menonjol. Ia menyukai program komputer. Sudah pula bakat bisnis: menjual program komputer ke sekolah-sekolah di Tiongkok.

Elizabeth juga belajar bahasa Mandarin. Keinginannyi menjadi orang kaya tak tertahankan.

Elizabeth cantik sekali –sebagai remaja putri. Kecantikannyi bisa dibilang 5-i. Matanyi sangat hidup. Lehernyi sangat jenjang. Bibirnyi ranum seperti bibir Sunyahni. Wajahnyi cendekia.

Saat kelas 3 SMA, Elizabeth bertemu laki-laki berumur 38 tahun. Beda umur, jauh. Beda warna kulit, jauh. Beda budaya, jauh.

Nama laki-laki itu: Ramesh Balwani. Orang Pakistan berdarah India. Ia diajak orang tuanya pindah ke India, lalu ke Amerika Serikat.

Balwani kuliah komputer di Stanford University lalu mengambil MBA di University of California Berkeley, tidak jauh dari San Francisco.

Balwani sudah punya istri –beda bangsa, beda kulit, beda budaya: Keiko Fujimoto. Dia seorang seniman di California yang keturunan Jepang.

Tahun itu Balwani bertemu Elizabeth.

Tahun itu Balwani menceraikan Keiko.


Elizabeth tidak takut laki-laki asing dari India. Dia hanya takut jarum suntik.

Ketakutannyi itulah yang menjadi inspirasi untuk memulai bisnis. Sambil kuliah Elizabeth melahirkan ide ini: tes darah tanpa mengambil darah.

Lahirlah Theranos –singkatan dari therapy and diagnosis. Awalnya terpikir juga untuk memberi nama start-up itu Real Time Cures. Tapi kata \'\'cure\'\' dianggap terlalu umum: apanya yang dirawat. Kurang spesifik diagnose.

Dasar pikirannyi: kalau tekanan darah, detak jantung, gula darah bisa dites dengan alat yang simpel mengapa tes darah tidak bisa dibuat sederhana –dan murah. Pun sekarang ini tes serapan oksigen pun sudah begitu sederhananya: hanya dari ujung jari.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: