Laksamana Enam Bulan
Rozy meninggal tahun 2010, di usia 67 tahun. Ia menderita kanker liver. Jabatan terakhirnya adalah duta besar di Qatar. Presiden SBY yang mengangkatnya di tahun 2007.
Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) meninggal tahun 2009, di usia 69 tahun. Itu berarti setahun lebih dulu dari Rozy Munir.
Taufiq Kiemas yang juga banyak ditulis di buku itu meninggal dunia di tahun 2013, di usia 70 tahun. Berarti empat tahun setelah Gus Dur.
Laksamana Sukardi kini berumur 64 tahun. Tidak lagi di DPP PDI Perjuangan. Bahkan tidak di politik sama sekali. Ia kini mengurus bisnis IT.
Saya tidak bisa membayangkan betapa hebohnya PDI Perjuangan kalau buku itu, dengan isi seperti itu, terbit di saat Taufiq Kiemas masih hidup. Terutama terkait dengan kesulitan Laks membongkar kasus kredit mega-triliun Texmaco.
Laks heran utang konglomerat lain bisa diungkap. Kok Texmaco, milik Sinivasan itu, tidak.
Laks terus berusaha membuka kredit Texmaco yang didapat secara tidak wajar itu. Gagal. Laks merasa sosok TK –panggilan akrab Taufiq Kiemas– ada di balik kegagalan itu. Saat itu TK, ternyata, sedang diproses menjadi Komisaris Utama PT Texmaco.
Laks merasa kasus Texmaco inilah yang menyebabkan ia dipecat sebagai menteri BUMN. Lebih dari itu. Laks juga tersingkir dari kepemimpinan di pusat PDI Perjuangan. Padahal perjuangannya di partai luar biasa. Ia tinggalkan bank. Untuk hanya jadi \'\'politikus kasta sudra\'\' bersama Megawati Sukarnoputri melawan Orde Baru. Laks, sebagai Bendahara Umum DPP PDI Perjuangan sama sekali tidak dapat jabatan setelah Kongres di Semarang.
Untung kursi DPR yang ditinggalkan Laks ke BUMN belum diisi orang lain. Begitu tidak lagi jadi menteri dan tidak lagi di DPP PDI Perjuangan, Megawati langsung mengembalikan Laks ke DPR. Itu sekaligus sebagai pelampiasan kekecewaan Megawati pada Gus Dur. Sampai pun memberi Laks jabatan ketua fraksi.
Padahal hubungan presiden yang memecatnya dengan DPR lagi panas. Apalagi Gus Dur mengeluarkan keterangan baru: bahwa JK dan Laks itu dipecat karena terlibat korupsi. Gus Dur mengatakan mendapat berkas 400 halaman sebagai buktinya.
Tuduhan itu kian meruncingkan hubungan. Gus Dur sampai dipanggil DPR. \"Berkas 400 halaman itu isinya seperti sampah,\" ujar Laks. Gus Dur minta maaf di DPR tapi hubungan sudah begitu buruk. Dimunculkan pula soal dana Sultan Brunei Darussalam dan dana Bulog. Gus Dur pun lengser.
Laks masih lumayan: 6 bulan menjadi menteri. Hamzah Haz hanya tiga bulan menjabat Menko Kesra. Ia yang pertama dipecat Gus Dur. Padahal Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu sangat berjasa menggalang \'\'poros tengah\'\' di DPR.
Poros tengah itulah yang berhasil mengangkat Gus Dur sebagai presiden –mengalahkan Megawati yang memenangkan Pemilu 1999. Waktu itu pemilihan presiden masih dilakukan di MPR yang anggotanya masih didominasi anggota DPR –belum ada DPD saat itu.
Laks juga masih lumayan: diberhentikan dengan cara dipanggil ke istana. Waktu masuk ruang kerja presiden, Gus Dur sudah duduk di kursi kepresidenan. Laks dan Jusuf Kalla diminta duduk di dua kursi yang ada di depan meja itu. Dari mulut presiden sendiri Laks mendengar pemecatan itu. Setidaknya tidak seperti Jenderal Wiranto. Yang dipecat dari jauh.
Laks ingat betul kasus Jenderal Wiranto itu. Yang dipecat dengan cara –seperti ditulis di buku itu– lebih menyakitkan. Waktu itu Presiden Gus Dur lagi berkunjung ke Eropa. Sejumlah wartawan berteriak-teriak dari jauh. Gus Dur berhenti dan mendengarkan teriakan itu.
Salah satunya mempertanyakan Jenderal Wiranto. Saat itu juga Gus Dur mengatakan kepada kerumunan wartawan tersebut: akan memecat Wiranto.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: