Siboen Halilintar

Siboen Halilintar

Beli HP baru. Yang RAM-nya lebih tinggi. Agar bisa merekam tidak hanya dua menit. Yang harganya murah. Agar terjangkau oleh gelang itu.

Pilihannya jatuh ke Xiaomi. Yang uang mukanya Rp 400.000. Yang harganya Rp 1,5 juta.

Dengan Xiaomi merek gelang sang istri itu, Siswanto beraksi. Lalu mengunggahnya ke YouTube. Tapi tidak ada yang menonton YouTube-nya.

Ia coba lagi membuat adegan-adegan misteri. Juga gagal.

Datanglah seorang pemilik sepeda motor baru. Mereknya MX. Motor itu mogok. Kata pemiliknya: akibat sekringnya putus. Siswanto diminta memperbaiki.

“Saya tidak bisa memperbaiki,” ujar Siswanto kepada pemilik MX itu. Ia takut motor itu rusak. Itu motor baru. Ia belum pernah dapat pelajaran seperti apa ”pedalaman” MX. Ketika ia ikut latihan di Magelang dulu, MX belum diproduksi.

“Coba saja lihat di YouTube. Pasti ada cara bagaimana memperbaiki MX. Pasti ada tutorialnya,” ujar si pemilik motor.

Ternyata begitu banyak acara tutorial di YouTube. Ini dia. Ide itu datang dari konsumennya: tutorial memperbaiki sepeda motor.

Itulah jalan hidup Siswanto yang baru. Ia pun membuat tutorial cara membuka accu di sepeda motor. Sangat sederhana.

Tapi Siswanto punya kendala: tidak bisa bicara. Tidak bisa seperti para YouTuber itu –yang begitu pandai menjelaskan sesuatu.

Siswanto memilih tidak bicara. Ia hanya merekam praktik cara-cara membuka accu.

Tapi bagaimana bisa mengunggahnya ke YouTube? Ia tidak punya Wi-Fi. Lewat kuota di HP tidak akan cukup.

Maka Siswanto ke Balai Desa. Ia tahu di sana ada jaringan. Meski lemot.

Di Balai Desa itulah Siswanto mengunggah tutorial tanpa kata-kata. Tentu harus menunggu jam kerja lewat.

Pukul 16.00 Siswanto mulai mengunggah tutorial pertamanya. Lemot sekali. Baru pukul 22.00 selesai. Untuk konten sepanjang 2 menit.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: