Tanpa Asap

Tanpa Asap

Kepada wali kota itu, Andreas mengatakan: “Kalau ada lahan dan saya diberi izin, saya sanggup membangun krematorium dalam satu minggu. Akan saya gratiskan selama pandemi ini.”

Wali Kota tanggap cepat. Ia melapor ke gubernur –tidak perlu saya sebutkan namanya. Sang gubernur langsung setuju. Mereka sepakat melihat lokasi pemakaman Kristen di Tegal Alur, Jakarta. Letaknya di antara Ancol dan PIK.

“Apakah lahan ini cukup?” tanya sang gubernur seperti ditirukan Andreas.

“Cukup sekali. Untuk dua mesin pun cukup,” jawab Andreas.

Lahan itu ada di sebelah kantor pemakaman.

“Kalau hari ini bapak izinkan. Seminggu lagi sudah bisa dipakai membakar mayat,” tantang Andreas.

Hari itu pun diputuskan: go!

Andreas pun menyewa crane kapasitas 50 ton. Ups… ada yang meminjaminya. Berat seluruh mesin itu sendiri 10 ton tapi lokasinya agak masuk jauh. Perlu crane besar.

Keistimewaan mesin bakar mayat yang ini –buatan Korea tapi dirakit di Indonesia– tidak menimbulkan asap dan bau. Sistemnya: pembakaran ganda. Asap yang muncul langsung dibakar lagi. Satu mayat hanya menghabiskan 15 liter solar.

Proses pembakarannya juga sangat cepat: 75 menit. Tidak lagi 5 sampai 6 jam seperti cara kremasi yang lama. Itu pun masih harus menunggu dingin untuk bisa mengambil abunya. Mesin Andreas ini beda. Begitu pembakaran selesai, abu bisa diambil –15 menit kemudian.

Itu karena ada ”baskom” ukuran 40 x 60 cm di bawah jenazah. Begitu pembakaran selesai baskom itu bisa ditarik. Abu tulang jenazah ada di baskom itu. Masih membentuk seperti pada posisi manusia. Abu tulang kepala di atas. Abu tulang lutut di bawah. Abu tulang pinggul di tengah.

Tulang di bagian bawah lutut –sampai jari kaki– habis terbakar. Tidak terlihat abunya. Karena itu panjang baskom cukup 60 cm. Cukup dari kepala sampai lutut.

Krematorium made in Andreas ini –nama Tionghoanya Sho Yong Tjuan– bikin heboh karena gratis. Andreas mampu memecahkan sistem kapitalisme dalam pembakaran mayat.

Di Jakarta sebenarnya sudah ada 21 mesin krematorium –di 8 lokasi. Termasuk di Tangerang. Termasuk dua buah milik umat Hindu.

Tapi jumlah mayat jauh melebihi kapasitas. Hukum kapitalisme berlaku: siapa mau mahal bisa dilayani lebih cepat. Yang kaya bisa menyalip antrean.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: