Harapan Karina
SAYA minta maaf kepada Karina. “Maafkan kalau saya baru kenal Anda sekarang,” ujar saya pada Si rambut keriting yang cantiknya bertambah-tambah karena gaya rambutnya itu. Saya tulus. Harusnya saya sudah menulis tentang Karina enam bulan yang lalu: ketika dokter ahli bedah plastik ini menemukan terapi “aaPRP” untuk pasien Covid-19.
Maafkan saya. Ilmu pengetahuan begitu penting, tapi saya begitu abai. Kok saya pilih menulis Perjuangan 2 T. Menunggu 2 T. Pusing 2 T. Bantuan 2 T. Sampai empat tulisan dalam seminggu. Seperti pandemi Covid baik-baik saja. Padahal yang meninggal akibat Covid menjadi yang tertinggi di dunia selama seminggu kemarin.
Itu bisa dicegah kalau saya memperhatikan Karina sejak enam bulan lalu. Setidaknya tiga bulan terakhir. Apa yang ditemukan dan dilakukan Karina ini begitu pentingnya. Apalagi cara Karina ini orisinal Indonesia. Penemuan Karina sendiri. Pertama di dunia.
Juga: begitu murahnya –dibanding obat Actemsra yang langka itu. Mungkin ada yang skeptis: Karina tahu apa. Dia kan ahli bedah plastik. Yang hanya memanjakan wanita yang ingin cantik.
Karina kini bukan hanya ahli bedah plastik. Dia saya anggap sudah menjadi ilmuwan penting yang harus diperhatikan Indonesia. Tinggal kita mau atau tidak. Kita cukup rendah hati atau tidak untuk mengakui kehebatan orang lain.
Dr dr Karina juga ahli stemcell. Dan kini bisa disebut ahli “aaPRP”. Dia memberi tambahan “aa” di depan “PRP”. Untuk terapi penyembuhan Covid-nyi ini. Agar PRP tidak lagi hanya diasosiasikan dengan urusan kecantikan. Bangganya lagi: Karina full produk lokal. Dia dokter lulusan UI. Spesialis di UI. S-2 di UI. Meraih gelar doktor juga di UI –di usia 45 tahun, 2019.
Suami Karina juga produk UI: dokter ahli kandungan. Sang ibu juga UI: dokter ahli kulit. Hanya ayahnya yang insinyur: ITB. Kini Karina sudah memiliki hak paten: bagaimana bisa mendapatkan 1,5 miliar stemcell dari lemak pasien. Dia lah yang menemukan bagaimana caranya dan pakai enzim kadar berapa.
Saya akan menulis soal itu lain kali. Sekarang soal “aaPRP” dulu. Selama ini dr Karina memang sudah dikenal sebagai ahli PRP –semua wanita cantik tahu itu. Juga wanita yang ingin cantik. Dokter Karina bisa mempermuda wajah wanita lewat PRP. Kalau ada yang mau saya juga bisa tulis lain hari.
Dari situlah dr Karina “akrab” dengan persoalan trombosit dalam darah. Dia terus melakukan penelitian. Dia tipe dokter yang tidak mau berhenti sebagai ilmuwan. “Dokter itu ilmuwan. Tapi banyak dokter yang kemudian berhenti menjadi ilmuwan,” ujar profesor saya di Tianjin, Tiongkok. Itu diucapkan bukan kepada saya, tapi kepada dokter yang lagi merawat saya –kok tidak kunjung bisa menemukan solusi keluhan saya.
Dr dr Karina sudah punya lab sendiri –lab dan klinik Hayandra. Singkatan dari nama tiga anaknyi: Hanif, Jan, dan Nandra. Lab milik Karina adalah satu yang terbaik di jenisnya di Indonesia.
Dari penelitian itu dr Karina tahu: trombosit itu kalau “dikupas” isinya protein. Yakni protein dari berbagai jenis. Ada protein antibiotik, anti inflamasi, protein penumbuh, protein anti bakteri, dan banyak lagi. Total lebih dari 1.000 jenis protein yang ada di dalam trombosit.
Ketika dr Karina melihat begitu banyak penderita Covid yang meninggal dunia, dia pun ingat: mengapa kandungan protein di dalam trombosit itu tidak dimanfaatkan. Kan bisa untuk menyembuhkan pasien Covid.“ Isi trombosit itu sudah seperti apotek besar,” ujar dr Karina pada saya Sabtu siang lalu.
Maka berbagai pertanyaan terus menggoda otaknyi: mengapa perlu pakai obat dari apotek kalau di dalam trombosit sudah ada obatnya. Karina pun menghubungi dokter yang sedang kewalahan dengan pasien Covid. Untuk mencoba terapi temuannyi itu.
Sang dokter memang harus menemukan cara menyembuhkan pasien. Maka dicobalah infus jerohan trombosit yang sudah “diolah” di lab Hayandra. Total biaya lab-nya hanya Rp4,5 juta. Bandingkan dengan obat Actemra yang harganya sudah begitu liarnya. Belum tentu tidak beresiko pula.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: