Harga Tahu-Tempe Naik 25 Persen
Stok Kedelai Susah, Perajin Ancam Mogok Produksi JAKARTA – Setelah merasakan mahalnya harga daging, kini masyarakat kalangan menengah bawah harus merasakan kenaikan harga tahu dan tempe. Pelemahan rupiah membuat importir menaikkan harga jual kedelai sejak tiga minggu lalu. Tak pelak kondisi itu membuat perajin tahu tempe kelimpungan. Perajin tahu dan tempe pun sepakat, pada 12 September nanti bakal menaikkan harga hingga 25 persen. Ketua II Gabungan Koperasi Tahu Tempe Indonesia (Gakoptindo) Sutaryo menjelaskan, pihaknya telah berkoordinasi dengan 115 ribu koperasi tahu dan tempe untuk mogok produksi pada 9-11 September nanti. Jika aksi tersebut tidak ditanggapi oleh pemerintah, maka pihaknya akan menaikkan harga tahu tempe hingga 25 persen. ”Selama ini kami masih mengakali kenaikan harga kedelai ini dengan memperkecil ukuran tahu tempe. Setelah 11 September nanti kami serentak akan menaikkan harga,” jelasnya saat ditemui dalam sebuah diskusi di Jakarta kemarin. Sebagai gambaran pada awal Agustus lalu harga kedelai di tingkat perajin tahu tempe sekitar Rp7.000 per kg hingga Rp7.700 per kg. Namun seiring dengan melemahnya kurs rupiah, harga kedelai melonjak Rp8.900 per kg hingga Rp10.300 per kg. Sutaryo mengungkapkan, harga kedelai di wilayah Jabodetabek saat ini rata-rata Rp9.050 per kg sedangkan di luar wilayah itu sudah menembus Rp10 ribu per kg. Selain harga mahal, Sutaryo mengaku kesulitan mencari pasokan kedelai. Itu sangat menyulitkan produsen tahu dan tempe melangsungkan usahanya. Bahkan dia mengungkapkan saat ini telah ada 15 ribu produsen tahu tempe yang sudah tidak bisa berproduksi karena tidak mendapatkan bahan baku. ”Sekitar 85 penyerap kedelai di pasar adalah perajin tahu dan tempe. Jadi jika tidak ada stok kami yang paling susah,” katanya. Sutaryo menuntut agar pemerintah segera mempercepat impor kedelai. Sebab saat ini produksi kedelai lokal sudah tidak ada lagi yang bisa diserap oleh perajin. Meskipun diakuinya bahwa kualitas kedelai lokal lebih disukai oleh perajin tahu dan tempe ketimbang kedelai impor. Untuk meringankan perajin kedelai, dia juga menuntut pemerintah memberikan pasokan kedelai kepada perajin kedelai dengan harga khusus. Dia juga menilai pemerintah tidak konsisten dalam menjaga stabilisasi pasokan dan harga kedelai. Sebab dalam Perpres nomer 32 tahun 2013 yang dikeluarkan Juni lalu, disebutkan bahwa Bulog ditunjuk sebagai badan yang ditugaskan untuk menjaga stabilisasi kedelai. Tapi pada kenyataannya, Bulog baru diberi izin impor setelah harga kedelai tinggi. Izin impornya pun cuma 60 ribu ton dari 624 ribu ton kedelai yang bakal didatangkan hingga akhir tahun ini. ”Dengan jumlah itu mana bisa Bulog menstabilkan harga kedelai, kan masih didominasi oleh peran swasta,” terangnya. Pada kesempatan yang sama, Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Firman Soebagyo meminta kepada perajin kedelai mengurungkan niatnya melakukan mogok produksi pada 9-11 September nanti. Menurutnya aksi tesebut selain merugikan perajin juga konsumen tahu dan tempe. Selain itu dia juga menghimbau kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU untuk menginvestigasi kejanggalan-kejanggalan di balik mahalnya harga kedelai. Selain itu dia juga mengkritisi sikap pemerintah yang dinilai lamban dalam menyelesaikan lonjakan harga kedelai. ”Saya heran terhadap sikap pemerintah yang terkesan lambat dalam merealisasikan impor kedelai. Mestinya kenaikan harga kedelai ini bisa diantisipasi sejak jauh hari. Tapi pemerintah baru berkoordinasi ketika sudah kejadian sampai perajin melakukan aksi,” ucapnya. Menurutnya jika pemerintah serius, penyelesaiaan lonjakan harga kedelai ini bisa diselesaikan dalam sehari. Misalkan saja dalam sehari itu presiden memanggil menteri terkait dan menugaskan Bulog untuk melakukan intervensi. Sementara itu, Ketua Lembaga Pengajian, Penelitian, dan Pengembangan Ekonomi Kadin Didik J Rachbini mengindikasi melambungnya harga kedelai disebkan kartel yang dilakukan oleh importir kedelai. Didik mengaku terdapat perusahaan yang diberikan prioritas dalam memperoleh alokasi impor kedelai. ”Ada satu perusahaan yang berinisial F yang memperoleh alokasi yang sangat besar. Dia merupakan perusahaan utama sedangkan perusahaan lainnya mengekor. Ini yang harus dicermati oleh pemerintah,” katanya. Menurut Didik, kartel yang terjadi belakangan ini merupakan akibat dari kebijakan kuota impor yang ditetapkan pemerintah. Alokasi tersebut lebih mengutamakan beberapa perusahaan swasta saja. Bahkan Perum Bulog yang ditunjuk sebagai badan stabilisator harga kedelai justru dipinggirkan. (uma)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: