Oposisi Kian Tak Terdengar

Oposisi Kian Tak Terdengar

BANGKOK - Kemenangan besar partai pendukung junta militer dalam pemilu Myanmar meruntuhkan bayangan demokrasi yang dibangun sendiri oleh penguasa. Suara oposisi pun tak lebih daripada sekadar bisikan di parlemen. Meski pemilu yang berlangsung Minggu lalu (7/11) itu menuai kritik luas, sejumlah aktivis demokrasi memilih ambil bagian dalam perhelatan tersebut. Dengan begitu, mereka berharap akan mendapatkan raihan suara lebih besar karena meluasnya kebencian rakyat kepada pemerintah junta. Sikap optimistis itu rusak setelah Partai Solidaritas Pembangunan dan Kesatuan (USDP) mengklaim bahwa mereka berhasil meraih 80 persen kursi yang diperebutkan di parlemen. “Hasil tersebut membuktikan bahwa proses pemilu yang ada tidak legitimate,” ujar seorang pemantau internasional yang saat ini berada di Yangon dan enggan disebutkan identitasnya. Partai-partai oposisi mendesak Komisi Pemilihan Umum untuk menindak dugaan kecurangan yang dilakukan partai pendukung junta. Khususnya isu penggalangan suara dari pegawai negeri sipil, tentara, petani, dan rakyat pedesaan oleh USDP. Namun, hanya sedikit yang optimistis bahwa sebuah investigasi akan dilakukan KPU setempat. “Rezim militer tidak ingin satu orang pun berada di dalam kekuasaan. Itu saja,” jelas Maung Zarni, seorang peneliti Myanmar di London School of Economics. “Inilah gaya Korea Utara,” tandasnya seperti dilansir Agence France-Presse. Bahkan, Partai Persatuan Nasional (NUP) yang juga mempunyai kedekatan dengan militer, tampaknya, tidak akan meraih suara signifikan. Sebelumnya muncul spekulasi bahwa NUP diprediksi akan mendapatkan muntahan suara dari pemilih yang tidak suka kepada USDP. Kemenangan mutlak USDP menjadi pukulan telak bagi partai oposisi yang mempertaruhkan reputasinya dengan harapan bisa membuat langkah kecil menuju demokrasi. Di pihak lain, mereka juga sudah memilih keluar dari Liga Nasional untuk Demokrasi pimpinan Aung San Suu Kyi dan mendirikan partai baru. Pilihan tersebut menjadikan suara oposisi terpecah. Rasa optimistis para kandidat partai oposisi untuk menempatkan wakilnya di parlemen terhapus sudah. Dengan komposisi parlemen 25 persen sudah dikapling oleh militer dan 80 persen dari sisa kursi telah dikuasai USDP, fraksi pendukung pemerintah setidaknya akan menguasai 85 kursi. Suara mayoritas parlemen yang dikuasai militer akan melancarkan proses legislasi UU dan pemilihan presiden. Presiden itulah yang sangat mendominasi proses penunjukan menteri di kabinet, jaksa, dan hakim agung. Pengamat internasional menyatakan bahwa mimpi kelompok oposisi rusak dengan hasil pemilu Myanmar. “Ini berarti suara (oposisi) di parlemen akan terdengar seperti “bisikan” dari sisi gelap kamar wakil rakyat,” jelasnya. (cak/c3/dos)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: