Rumah Merah

Rumah Merah

”Belinya bertahap. Saya kan bukan orang kaya,” katanya.

Maka, jadilah tiga Rumah Merah di Jalan Karang Turi itu menjadi satu kesatuan. Bagian belakangnya menyatu. Turis bisa masuk dari rumah pertama. Bisa keluar di Karang Turi dari rumah ketiga.

Rumah yang di tengah dijadikan hotel. Sebanyak 18 kamar. Tanpa mengubah desain kamar aslinya.

Ia masih membeli satu rumah lagi. Di seberang Rumah Merah itu. Untuk toko batik Lasem. Lalu, membeli satu kapling lagi di sebelahnya: rumah yang sudah reot. Akan ia jadikan tempat parkir turis.

Dulu saya sering bertemu Rudy Hartono. Saya mengenalnya dengan nama Oei Sien Tjo. Ia ikut kejuaraan barongsai mewakili Lasem. Di Surabaya. Dua kali. Ia ketua klub Tiongkok Kecil.

Waktu itu saya masih ketua umum barongsai se-Indonesia. Saya baru berhenti tahun lalu. Setelah lebih 15 tahun di jabatan itu.

Oei akrab dengan aktivis Barongsai Surabaya. Setelah tamat SMA di Lasem, Oei kuliah di Surabaya. Di teknik sipil Universitas Kristen Petra.

Setamat Petra, Oei bekerja di proyek Agung Auto Mall Surabaya –sekarang dikenal sebagai Auto2000.

Saya tidak menyangka, Oei sudah begitu majunya. Lebih salut lagi: ia begitu semangat membangun kampung kelahirannya.

Ia merasa putra asli Lasem. Ayah, kakek, buyut, canggahnya, semua lahir di Lasem. Pun generasi di atasnya lagi. Yang masih lahir di Tiongkok adalah enam generasi terdahulu.

Oei sudah menjadi orang kaya. Tapi, bukan orang yang kaya raya. Kecintaannya kepada Lasem yang membuat ia menanam uang di Lasem. Yang secara bisnis tidak terlalu menghasilkan.

Kecuali kelak. Ketika Jalan Karang Turi sudah dibangun dengan ciri khas yang kuat. Bukan sekadar diberi parit di pinggirnya –dan aspal sejlirit di tengahnya.

Atau lebih kelak lagi: ketika sudah ada jalan tol dari Semarang ke Kudus. Sambung ke Rembang. Sampai Surabaya.

Sementara ini Rudy hanya bisa banyak berharap. Tapi, ia akan panjang umur –sabar menunggu harapan itu tiba: Lasem jadi pusat wisata penting. Dengan sejarahnya, dengan batiknya, dengan keunikannya. Juga, sebagai salah satu pusat penyebaran Islam di Indonesia –Gus Baha yang kini terkenal sebagai ulama besar itu keturunan Lasem.

Di Lasem-lah ada peninggalan  infrastruktur penyelundupan candu di zaman itu. Yang lubangnya sampai ke  sungai. Kini disebut Lawang Ombo.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: