Empat Organisai Guru Tolak Revisi PP 74/2008

Empat Organisai Guru Tolak Revisi PP 74/2008

JAKARTA - Dirasa akan mengancam kebebasan berorganisasi bagi guru, revisi akhir PP 74/2008 kembali mendapat penolakan. Sebanyak empat organisasi guru sepakat untuk mengajukan draf perubahan pada revisi PP 74/2008 kemarin. Federasi serikat guru Indonesia (FSGI) bersama Ikatan Guru Indonesia (IGI), Federasi Guru Independen Indonesia (FGII), dan PGSI (Persatuan Guru Seluruh Indonesia) mendatangi pihak Balitbang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) untuk menyampaikan ketidaksetujuan mereka atas revisi akhir dari PP 74/2008 tersebut, terlebih pada pasal 44. Perwakilan keempat organisasi guru itu datang dengan didampingi oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH). Dalam kesempatan tersebut, Sekjen IGI, Muhammad Ikhsan mengakui bahwa sebelumnya memang telah ada pertemuan untuk membahas draft akhir revisi PP 74/2008 tersebut. Namun karena keterbatasan waktu dan pasal yang dibahas cukup banyak, maka terjadi deadlock pada pembahasan pasal 44. “Karena itu, kita berinisiatif untuk mengajuikan draft perubahan terutama pada pasal 44,” ujarnya. Sepaham dengan Ikhsan, Sekjen FSGI, Retno Listyarti bahkan menyatakan bahwa dalam draft akhir tersebut tidak ada niat dari Kemendikbud untuk menjalankan rekomendasi KOMNAS HAM, yang meminta syarat pendirian organisasi profesi guru berdasarkan persentase anggota seharusnya tidak tercantum dalam revisi. “Jika pemerintah tetap memaksakan untuk mengatur pembatasan jumlah kepengurusan dan keanggotaan padahal bertentangan dengan UU Ormas No.17/2013, maka akan muncul dugaan bahwa hal tersebut adalah pesanan,” ungkapnya. Sebab menurutnya, bukan rahasia lagi jika di dalam tubuh BPSDM-PMP banyak pejabat yang pernah dan masih menjadi pengurus PGRI. Sehingga muncul dugaan bahwa draft tersebut khususnya pasal 44 yang mengambil aturan pembentkan partai politik mengarah pada kepentingan organisai guru tertentu. Muhammad Isnur, yang mewakili LBH Jakarta juga menyatakan bahwa kebebasan berserikat dan berkumpul harusnya diatur dalam UU bukan melalui PP. Ia mengatakan bahwa pembatasan ini merupakan inkonstitusional. Apalagi jelas draft pengaturan yang dibuat oleh pemerintah dalam hal ini Kemendikbud, bertentangan dengan pasal-pasal dalam UUD 1945, juga UU lainnya. Menurutnya, pemerintah telah berbuat kesalahan fatal dengan mengangkangi hukum dan konstitusi. Selain menyampaikan pangajuan draft perbaikan, para perwakilan tersebut juga mengajukan perubahan mengenai jam kerja guru. Mereka meminta 24 jam yang ditentukan oleh Kemendikbud tidak hanya dihitung dengan tatap mata. “Kami berharap, jatah menjadi wali kelas, ekstrakulikuler dan sebagianya juga dipertimbangkan untuk masuk hitungan waktu,” jelas Retno. Sebab, lanjutnya, jika kalkulasi 24 jam tersebut hanya dihitung dengan tatap muka di kelas maka akan terjadi kesenjangan atau sikut-sikutan diantara tiap guru. Selain itu, tunjangan guru akan susah diperoleh. Menanggapi beberapa hal tersebut, Koordinator Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Hukum Kabalitbang Kemendikbud, Siswo Wiratno mempersilahkan organisasi-organisai guru tersebut untuk mengawal jalannya PP ini hingga sampai ke badan hukum. Ia juga menegaskan bahwa tidak ada niat dari pihak Kemendikbud untuk melakukan pelarangan atau pembatasan pelaksanaan organisasi guru. “Saya pribadi tidak ada masalah, saya setuju saja jika jumlah organisasi banyak. Asalkan, mereka bertanggung jawab untuk bisa meningkatkan mutu guru,” ujarnya. Ia juga berjanji akan membawa usulan mengenai jam ajar guru 24 jam untuk dilakukan peninjauan. (mia)  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: