Ongko Laokao
Tidak jauh dari Niagara itu pula, kelenteng besar ia bangun: persis meng-copy salah satu kelenteng berdewa besar di Taiwan. Masih eksis sampai sekarang.
Masyarakat Tionghoa Surabaya umumnya tahu kisah sukses ayah Ongko ini. Terutama kisah bagaimana ia sampai punya istri empat —dengan total anak 39 orang.
Waktu istri pertama sudah melahirkan lima anak, sang istri sakit keras. Tidak ada obat yang bisa menyembuhkan. Sang suami akhirnya mencari laokao —ahli guamia/hongsui— sampai ke Tiongkok.
\"Agar istri tidak meninggal, nyawanya harus disambung,\" ujar sang laokao —kira-kira saja begitu. Cara menyambung nyawa itu adalah: harus ada istri kedua.
Dirundingkanlah \"resep\" laokao itu dengan sang istri. Setuju. Sang suami pun kawin lagi. Istri pertama sembuh. Keduanyi hidup rukun. Anak-anak pun lahir dari istri kedua.
Sepuluh tahun kemudian istri kedua pun sakit keras. Resep laokao sama: harus dicarikan sambungan nyawa. Itulah alasan perkawinan dengan istri ketiga. Tiga-tiganyi hidup rukun. Punya anak-anak pula.
Lalu, Anda sudah tahu kisah berikutnya. Setidaknya Anda sudah bisa menebak: istri ketiga pun sakit keras. Tidak bisa disembuhkan. Harus dicarikan nyawa sambungan lagi: istri keempat.
Sebetulnya masih harus dicari satu lagi nyawa sambungan berikutnya. Memang istri keempat belum sakit. Tapi perkawinan keempat itu sudah hampir 10 tahun. Padahal, menurut laokao, papa Ongko harus kawin setiap 10 tahun.
Tapi sang Engkong sudah tua. Tidak mau lagi. Salah satu istrinya pun meninggal dunia. Ia sendiri juga menyusul meninggal dunia, 1980-an.
Inilah poligami damai yang tidak sampai digunjingkan seperti di PKS.
Awalnya Ongko Prawiro berbisnis tekstil seperti papanya. Tapi ia melihat temannya yang berbisnis di jalan yang sama. Toko di seberang jalan itu. Kok kelihatannya lebih enak: dagang kertas. Zaman itu, untuk kulakan kertas harus menyerahkan uang di muka.
Ongko pun ikut dagang kertas. Sama-sama barang lembaran, kertas tidak serumit tekstil. Di tekstil terlalu banyak corak. Setiap muncul corak baru, corak lama kurang laku.
Uang banyak mati di stok lama. Padahal kian lama kian banyak corak baru. Kian cepat pula pergantian corak itu.
Beda dengan di kertas —yang hanya punya dua corak: putih dan putih sekali. Atau cokelat tebal dan cokelat tipis. Baru belakangan ada kertas aneka-warna.
Dari dagang kertas itu Ongko menyalip teman di seberang jalan: naik ke industri kertas. Ongko membangun pabrik kertas sendiri. Papanya kurang setuju, tapi Ongko ingin lebih maju dari sang papa.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: