Ingat Tomy
Pun sudah pernah ada investornya: Tomy Winata. Sudah ada lembaga keuangan yang membiayainya: perbankan Tiongkok.
Dan yang tidak kalah penting: sudah ada road map-nya. Dan desain teknisnya.
Rasanya investor sampai sudah habis lebih dari Rp 2 triliun untuk semua persiapan itu. Dan itu uang sungguhan —bukan uangnya Akidi Tio.
Begitu seriusnya Tomy saat itu, sampai ia berandai-andai dengan nyawanya: \"Kalau salah satu syarat untuk mendapat izin itu harus nyawa saya, saya akan penuhi,\" katanya suatu saat. \"Kalau setelah jembatan jadi saya harus melompat dari jembatan itu ke laut, saya akan lakukan,\" tambahnya.
Waktu itu Tomy sampai mengumpulkan semua anaknya. Agar anak-anak itu ikut menandatangani syarat yang diminta bank internasional: garansi pribadi. Artinya: kalau proyek itu gagal bayar, seluruh kekayaan Tomy disita bank. Termasuk semua kekayaan anak-anaknya.
Kenapa harus sampai kekayaan anak-anak
Proyek itu pasti memakan waktu bertahun-tahun. Bisa 15 tahun. Dalam perjalanan itu bisa saja Tomy meninggal dunia. Kekayaan harus dibagi ke anak-anak.
Tomy sampai menyiapkan anaknya untuk situasi yang terjelek.
Di akhir pemerintahan SBY, Tomy mendapat kepastian: izin belum bisa dikeluarkan oleh pemerintahan waktu itu. Izin itu terlalu penting untuk dibuat oleh pemerintahan yang running out time.
Lalu, di awal pemerintahan Presiden Jokowi, Peraturan Presiden tentang Selat Sunda itu dicabut.
Selesai.
Mungkinkah suatu saat pemerintah menginginkan pembangunan jembatan Selat Sunda?
Mungkin saja. Tentu lebih sulit lagi. Terutama untuk mendapatkan tapak jembatan di sisi Banten.
Waktu itu tapak jembatan tersebut direncanakan di lokasi yang siapa pun tidak mengira: Mojo. Luasnya 10.000 hektare. Wujudnya masih hutan karet. Mudah membebaskannya.
Lokasi tapak itu masih sekitar 10 Km dari pantai —jauh di selatan Merak.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: