Soal Pencabutan Izin Yayasan ACT, Begini Kata Menko PMK Muhadjir Effendy
Menko PMK Muhadjir Effendy.-@muhadjir_effendy-Instagram
Radarcirebon.com, JAKARTA – Terkait pencabutan izin Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT), Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendy mencoba meluruskan kabar tersebut.
Menko PMK Muhadjir Effendy, menyebutkan pencabutan izin itu terkait pengumpulan dana masyarakat.
Pencabutan izin tersebut dilakukan kala dirinya menjabat Menteri Sosial ad interim.
BACA JUGA:Pemdaprov Jabar Ajak Ibu-Ibu Bawa Balita untuk Ikut Bulan Imunisasi Anak Nasional 2022
"Banyak yang menanyakan di aturan Kemensos itu kan ada peringatan 1, 2, 3 baru ada sanksi. Saya bilang, itu tidak bisa diberlakukan seperti itu, tergantung kasusnya.”
“Kalau baru melompat pagar, diingatkan. Kalau baru buka pintu diingatkan kedua tapi kalau sudah lari bawa hasil curian masa diingatkan? Ya harus dikejar dong," kata Muhadjir di lingkungan istana kepresidenan Jakarta, Senin (1/8/2022).
Pencabutan izin ACT dinyatakan dalam Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 133/HUK/2022 tanggal 5 Juli 2022 tentang Pencabutan Izin Penyelenggaraan Pengumpulan Sumbangan Kepada Yayasan Aksi Cepat Tanggap di Jakarta Selatan yang ditandatangani oleh Menteri Sosial Ad Interim Muhadjir Effendi pada 5 Juli 2022.
"Kalau diingatkan ya malah lari cepat dia. Jadi itu kenapa ketika saya (selaku Mensos) ad interim itu memgambil keputusan cabut hari itu juga. Itu masalahnya dan sekarang Insyaallah terbukti kan," tambah Muhadjir.
Namun menurut Muhadjir, pemerintah bukan membubarkan ACT, namun mencabut izin pengumpulan dana.
"Jadi yang dicabut itu, bukan membubarkan ACT, membubarkan ACT domainnya Pak Menkumham, tapi yang kita cabut izin pengumpulan barang dan jasa untuk bantuan sosial," ungkap Muhadjir.
BACA JUGA:Digital Banking Apps Paling Digemari, BRImo Catatkan Kenaikan Transaksi 136,5%
Diketahui empat orang pengurus ACT telah ditetapkan sebagai tersangka karena diduga melakukan pidana dan/atau penggelapan dalam jabatan dan/atau tindak pidana informasi dan transaksi elektronik dan tindak pidana informasi dan/atau tindak pidana yayasan dan/atau tindak pidana pencucian uang (TPPU).
"Karena sejak ketemu, dia (ACT) sendiri mengakui bahwa telah mengambil biaya untuk operasional dan hal itu di atas yang Seharusnya 10 persen tapi diambil 13,6 persen, tetapi berdasarkan hasil temuan dirjen ternyata tidak segitu juga, dalam arti lebih tinggi," tambah Muhadjir.
ACT, menurut Muhadjir, juga memotong sumbangan untuk bencana alam, padahal seharusnya untuk kejadian bencana alam tidak boleh dipotong sama sekali.
"Tidak boleh bantuan bencana alam itu pihak pengelola mengambil satu persen pun, tidak boleh, dan ada indikasi dia juga mengambil dana untuk bantuan bencana alam itu dengan jumlah tertentu.”
BACA JUGA:Humor Gus Dur Tentang Jilbab Bikin Ngakak, Nyai Roro Kidul Pun Kena Sentil
“Atas dasar itulah maka saya waktu itu sebagai ad interim saya harus lapor Presiden dulu, juga telepon Bu Risma dulu saat akan naik haji, bagaimana ini? Posisinya begini bagaimana kalau sebaiknya kita cabut dulu biar irjen masuk utuk audit bagaimana kondisi keuangannya," jelas Muhadjir.
Baru kemudian ditemukan indikasi pidana sehingga ditangani oleh Bareskrim Polri.
"Bagaimana jika ada kaitan perputaran uangnya, silakan PPATK, tapi Kemensos posisinya di situ, saya ingin taat azas saja, ini wilayahnya Kemensos ini," ungkap Muhadjir.
BACA JUGA:Kebakaran Rumah di Talun Cirebon, Api Bermula dari Pembakaran Sampah
Penyidik Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dittipideksus) Bareskrim Polri telah menetapkan empat tersangka dalam kasus penggelapan dalam jabatan di Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT). (jun/fin)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: fin.co.id