Jipem Sajian Shafar Ala Warga Cirebon

Jipem Sajian Shafar Ala Warga Cirebon

TAHUN ini warga Dawuan Kecamatan Tengah Tani  Kabupaten Cirebon bisa mengumpulkan  kocek hingga bisa membeli 30 kg beras. Semuanya digiling menjadi tepung yang selanjutnya diolah menjadi adonan dalam empat bak besar. Inilah bahan dasar mereka membuat apem. “Bagusnya sih pake kelapa tua. Tetapi nggak sempat,” kata mbak Mi, akrab disapa. “30 kilogram terbilang sedikit. Ada juga tetangga yang membuat adonan hingga setengah kuintal beras,” kata mbak Mi  yang biasa membantu tetangganya mengemas apem matang. Mbak Mi  satu dari warga Cirebon yang melakoni “Ngapem”. Ngapem merupakan tradisi sejak lama warga Cirebon yang membuat kue apem khusus pada bulan Shafar. “Wah, mulai zaman tikus masih kecil-kecil,” jelasnya sambil tertawa menunjukkan saking lamanya tradisi Ngapem di desanya. Ngapem konon tradisi keraton Cirebon pada bulan Shafar. Di era penjajahan, apem dimaknai sebagai kolonial Belanda yang harus dihapus dari bumi Cirebon dengan cara menenggelamkan apem di air gula merah “Biar selamat dari bala,” imbuhnya kepada Radarcirebon.com.  Selain Zulqa’dah, Shafar bulan di mana orang Cirebon terutama kecamatan Tengah Tani  memantang hajatan pernikahan. Kalau Muharram, orang sini sedekah bubur merah-bubur putih. “Ngapem Shafar katanya sih kelanjutan dari bulan Muharram yang diperingati sebagai hari penyelamatan Nabi Ibrahim AS dari pembakaran. Atau anggap saja wujud rasa syukur kami,” terang ibu beranak satu ini. Sebelum diantarkan ke tetangga dan kerabat, di tampah dan bakul besar. Mbak Mi  mengipasi apem panas yang baru diangkat. “Kalau kering, apem tidak cepat basi. Jadi besok pun masih bisa dimakan.” Tampak, tungku  memangku wajan datar dengan 7 cetakan. Di sinilah menggarang adonan tepung beras. Sebelum adonan masuk, setiap cetakan diolesi minyak goreng dengan tulang daun pisang. Berdurasi 3-5 menit tanpa lupa membalik, adonan sudah berubah menjadi apem garang siap santap. Adonan dibagi dua. Sebagian dibiarkan tawar. Sebagian dimaniskan sebelum dikukus atau digarang. Sebelum disantap, kue apem biasanya diguyur atau dicocol dengan air gula merah. Sedangkan Ayu, anak Mbak Mi terlihat repot menangani dua langseng sekaligus. Di atas tungku yang dihadapinya, ia mengukus adonan dalam cetakan agar-agar. Mereka mulai mengolah adonan itu sejak setengah 4 sore hingga setengah 11 malam di dapur berukuran 5 x 10 m.Kalau dahulu saban habis subuh, kita waktu masih anak-anak mendatangi rumah-rumah tetangga yang dapurnya ngebul. Mereka masak mulai jam 3 dini hari, kata Wandi, suami mbak Mi, ikut nimbrung. “Kita dengan beberapa teman teriak di luar dapur “Jipem”. Jipem singkatan dari siji apem (minta apemnya satu),” seloroh Wandi  dengan logat khas Cirebon. Apem biasanya banyak dijual di pasar pada bulan Shafar. Untuk bulan lain, biasa jarang sekali. Pokoknya bulan Shafar. Dulu sih bikin apem makan waktu agak lama, beras terlebih dahulu ditumbuk alu. Sekarang beras masuk mesin giling, keluar jadi tepung, lontar Wandi yang mengais rezeki dari berjualan daging sapi di Pasar Kanoman. Tiap rumah diantarkan satu bungkus plastik berisi 5-6 kue apem dan air gula merah seperempat plastik es. Kalau anggota keluarga di rumah itu agak banyak, maka kita isi 8-10 apem, lanjut mbak Mi. “Sedekah intinya menolak bala. Tiada yang salah dengan sedekah kan?” tandas Wandi. (wb)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: