Ritual Keramat Panjang Jimat di Bumi Wali

Ritual Keramat Panjang Jimat di Bumi Wali

Malam ini, (14/1), Cirebon diliputi hujan di sebagian wílayahnya. Penelusuran Radarcirebon.com saat menyambangi tiga Keraton. Kasepuhan adalah keraton terbesar dan tertua di Cirebon. Perayaan Panjang Jimat di Keraton ini, saat malam keramat tiba, area Keraton dibentengi lautan manusia yang hendak berziarah ke Keraton atau pun yang cuma sekedar plesiran dengan keluarga. Diikuti dengan Keraton Kanoman yang letaknya tak jauh dari Kasepuhan, Keraton ini juga akan tertutup oleh pengunjung yang membanjiri area Keraton. Dan pesta yang paling sederhana dibanding dua kubu kekuasaan tersebut adalah Keraton Kacirebonan. Dari telusuran sejarah, Kacirebonan memang tak sebesar Kasepuhan dan Kanoman dalam hal kekuasaan. Kemunculannya dalam kancah politik Cirebon dimulai tahun 1808 oleh Sultan Carbon Kacirebonan. Konon sang Sultan menolak kebijakan Belanda saat itu yang berniat menggajih para Sultan. Cara itu dianggapnya menjadikan Kesultanan sebagai boneka imperialis. Anggapan saat ini, Panjang Jimat adalah upacara yang bersifat seremonial terhadap barang-barang pusaka yang dimiliki oleh Kesultanan Cirebon. Saat Panjang Jimat biasanya barang-barang pusaka ini dikeluarkan dari tempat penyimpanannya untuk dimandikan. Kadang juga diarak berkeliling lingkungan Keraton. Panjang Jimat kini identik dengan kebendaan dan mistis. \"Panjang Jimat adalah merayakan kelahiran Nabi Muhammad SAW. Bentuk perayaannya adalah dengan mendoakan para leluhur dan membersihkan barang-barang peninggalannya,\" ujar Elang Wiyono kepada Radarcirebon.com (14/1) Menurutnya, zaman telah berubah. Warga menganggap Panjang Jimat adalah ajang gelar barang-barang bertuah. Saat tibanya Panjang Jimat banyak orang ingin menyentuh barang-barang pusaka ini dengan harapan akan mendapat berkah. Di Kacirebonan, Panjang Jimat dimulai dengan memandikan barang pusaka peninggalan leluhur. Acara ini diadakan pagi hari sebelum malamnya benda-benda ini akan dikirab menuju masjid di samping Keraton. Masjid Kacirebonan sendiri tidaklah besar. Ukurannya hanya serupa rumah sederhana. Saat Panjang Jimat berlangsung, masjid ini tertutup untuk umum. Hanya orang-orang tertentu dari kerabat Keraton yang berhak masuk untuk mengawal barang pusaka dan mendoakannya sepanjang malam.Kirab dimulai dengan iring-iringan abdi dalem yang membawa panji-panji Kesultanan diikuti dengan deretan benda-benda pusaka dengan dibawa petugas yang memakain pakaian berjubah. Antusias warga yang ingin menyentuh benda-benda ini, sekelompok pasukan pengaman juga sudah disiagakan. Mereka bukanlah pasukan keamanan berkostum militer, tapi para pemuda berbaju hitam ala ksatria pencak silat. Keluar dari bangunan Keraton, benda-benda pusaka langsung masuk ke dalam masjid. Beberapa petugas berkostum jubah ikut masuk ke dalam masjid dan duduk mengelilingi benda-benda pusaka tersebut. Doa-doa dan ayat suci mereka lantunkan sepanjang malam. Sayangnya, sesi ini tertutup untuk umum. Dari warga lokal, terdapat kisah-kisah mistis tentang acara ini. Konon di tengah keramaian acara, tak cuma kaum manusia saja yang hadir memeriahkan Panjang Jimat, tapi juga para makhluk halus sang penjaga barang-barang pusaka. Sejatinya, Panjang Jimat merupakan ritual melestarikan dan merawat jimat yang berupa kalimat syahadat. Panjang Jimat dilaksanakan bertepatan dengan maulud Nabi Muhammad, dan menjadi sarana pengingat lahirnya Nabi Muhammad, serta ajaran-ajarannya. Upacara ini sarat makna dan selalu diserbu ratusan ribu hadirin. Suasana malam itu begitu khidmat. Ribuan warga Cirebon memenuhi empat telatah bersejarah dan sakral dalam perjalanan syiar Islam di kawasan Cirebon. Prosesi Panjang Jimat rutin dilakukan setiap 12 Rabiul awal, yang menjadi puncak atau pelal peringatan maulud Nabi Muhammad saw, yang sarat makna dan selalu dijubeli ratusan ribu massa. Sebelumnya, telah dilakukan ritual pencucian beragam jimat atau benda-benda pusaka peninggalan leluhur Cirebon. Biasanya, air bekas mencuci ini kerap diburu masyarakat. Konon, air bercampur kembang setaman bekas mencuci Gong Sekati di Masjid Agung Kanoman, misalnya, diyakini bisa membawa keberkahan.Menurut catatan, tradisi pelal Panjang Jimat ini telah dilaksanakan lebih dari 6 abad. Pelaksanaannya dilakukan di empat tempat yang menjadi peninggalan dari Sunan Gunung Jati. Antara lain, Keraton Kasepuhan, Keraton Kanoman, Keraton Kacirebonan dan Kompleks makam Syekh Syarief Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, pendiri kasultanan Cirebon. Uniknya, acara ini tak hanya dihadiri oleh ribuan warga Cirebon, tapi juga masyarakat dari luar seperti Majalengka, Indramayu, Kuningan, Sumedang, Tasikmalaya, Ciamis, Bandung, bahkan dari daerah Tegal, Brebes, Pekalongan, Semarang, Jakarta dan Banten. Dari keempat tempat ritual itu, yang paling banyak dihadiri pengunjung adalah Keraton Kasepuhan dan Kanoman. Ritual Keramat Prosesi Panjang Jimat diantaranya berisi arak-arakan nasi tujuh rupa atau Nasi Jimat yang melambangkan hari kelahiran manusia dari Bangsal Jinem yagn merupakan tempat sultan bertahta ke masjid atau mushala keraton. Nasi Jimat itu diarak dengan pengawalan barisan abdi dalem yang membawa symbol-simbol. Barisan pertama adalah pembawa lilin, yang bermakna penerang. Lalu iring-iringan pembawa perangkat upacara seperti manggaran, nadan dan jantungan, yang melambangkan kebesaran dan keagungan. Selanjutnya, berturut-turut iringan pembawa air mawar dan kembang goyang, perlambang air ketuban sebelum lahirnya jabang bayi dan usus atau ari-ari yang mengakhiri kelahiran. Kemudian iring-iringan pembawa air serbat yagn disimpan di 2 guci yang melambangkan darah saat bayi dilahirkan. Kemudian 4 baki yang menjadi lambing 4 unsur yang ada dalam diri manusia, yakni angin, tanah, api dan air. Setelah iring-iringan pengawal lengkap berkumpul di Bangsal Purbayaksa, Sultan Kasepuhan memimpin arak-arakan menuju Langgar Agung sejauh 100 meter. Arak-arakan yang keluar dari Bangsal Purbayaksa disambut di luar keraton oleh pengawal pembawa obor. Ini merupakan perlambang Abu Thalib, paman nabi menyambut kelahiran bayi Muhammad pada malam hari yang kemudian menjadi manusia agung. Arak-arakan ini menuju Langgar Agung (mushala). Di sana, Nasi Jimat Tujuh Rupa itu dibuka berikut sajian makanan lain termasuk makanan yang disimpan dalam 38 buah piring pusaka. Piring pusaka ini dikenal amat bersejarah dan paling dikeramatkan karena merupakan peninggalan Sunan Gunung Jati, dan berusia lebih dari 6 abad. Di Langgar Agung ini dilakukan shalawatan serta pengajian kitab Barjanzi hingga tengah malam. Pengajian dipimpin imam Masjid Agung Sang Cipta Rasa Keraton Kasepuhan. Setelah itu makanan tadi disantan bersama-sama. Di sinilah kejadian unik berlaku. Rakyat yang berjubel-jubel di luar masjid, berusaha berebutan menyalami atau sekadar menyentuh tangan Sultan Kasepuhan. Dalam keyakinan masyarakat, bila berhasil menyentuh Sultan, maka ia akan mendapatkan berkah dalam kehidupannya. Tak heran bila Sultan mendapat pengawalan ketat dari pengawal keraton. Ngalap Berkah saat peringatan Maulud Nabi Muhammad saw merupakan warisan dari kalifah Sholahuddin Al Ayubi, sekitar 700 tahun setelah wafatnya Nabi Muhammad. Sholahuddin selalu merayakan maulud dengan berbagai upacara yagn berlangsung amrak. Tujuannya agar umat muslim selalu ingat dan meneladani Muhammad. Di Cirebon, Pangeran Cakrabuana mengadopsi perayaan itu dan disesuaikan dengan adapt dan istiadat setempat. Dan sampai sekarang dikenallah apa yang disebut upacara Panjang Jimat. (wb)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: