Nasib Mantan Pahlawan Pesik Kuningan
Garis hidup seseorang tak ada yang tahu. Jika hari ini sukses menapaki kehidupan dan mapan dalam pekerjaan, entah bisa bertahan sampai hari tua atau akan hilang dalam sekejap. Banyak contoh mereka yang sekarang sukses malah tidak bisa menikmatinya di hari tua. Tapi ada juga yang di masa mudanya tidak berhasil, tapi bisa meraih impiannya. Itu pula yang dialami Iyan Herdiansyah, mantan penjaga gawang Timnas U-19. Tubuhnya tinggi dan masih tegap. Raut wajahnya dihiasi kumis tipis yang melintang di bibirnya. Rambutnya masih hitam, diselingi beberapa uban yang tumbuh di kepalanya. Dengan sigap, lelaki bernama Iyan Herdiansyah itu meniupkan peluitnya dan memberi aba-aba kepada sopir dum truk pengangkut pasir. Sang sopir menuruti ucapan pria yang berdiri di perlintasan. Setelah dirasa aman, sopir truk itu melajukan kendaraannya. Tinggalan Iyan mengatur kembali arus lalu lintas di perlintasan tersebut. Kendati upah yang diterimanya tidak seberapa bagi orang lain, namun bagi Iyan sangat berharga. Jika teman-teman seangkatannya kini sedang menikmati ketenangan sebagai pegawai negeri sipil (PNS), Iyan terpaksa banting tulang menghidupi keluarganya dengan mengabaikan kesehatannya sendiri. Perlintasan truk pengangkut pasir terkadang dipenuhi debu. Apalagi jika musim kemarau. Butiran pasir sering menerpanya. Padahal upah yang diterima sebagai penjaga parkir perlintasan dump truck hanya cukup untuk membeli tiga kilogram beras dalam sebulan, tak sebanding dengan polusi kesehatan yang dialaminya. Sebenarnya menjadi tukang parkir di perlintasan truk galian pasir bukan harapan Iyan dan keluargnya. Iyan sempat melambungkan asa kala menjadi pemain sepakbola profesional. Ketika itu penghasilannya mencukupi bahkan bisa dikatakan lebih untuk kehidupan dia dan keluarganya. Namun seiring perjalan waktu, mantan pemain Pesik Kuningan itu harus menata ulang kehidupannya. “Ini perjalanan hidup dan saya harus jalani,” tutur Iyan dalam sebuah kesempatan. Iyan pun mafhum dengan kondisi ekonomi keluarganya. Pasca pensiun dari pemain dan pelatih, Iyan terpaksa bekerja sebagai penjaga parkir di perlintasan dump truk pengangkut pasir. Sebulan dia kebagian jaga sebanyak enam kali. Uang yang diterimanya hanya Rp20 ribu sebulan. “Ya lebih baik bekerja seperti ini daripada menganggur. Pekerjaan apa saja saya lakoni yang penting halal. Uang itu untuk makan anak dan istri, biaya pendidikan dan lainnya. Anak saya paling besar sudah 25 tahun, dan yang paling kecil masih kelas 1 SD,” katanya dengan nada parau. Tak ada barang mewah yang dimiliki Iyan di rumahnya. Rumahnya sangat sederhana. Sebuah televisi diletakan di ruang tengah. Sementara bagian teras depan dipakai untuk warung kecil yang menjual aneka jajanan anak. Ada baso goreng, ciki, aci goreng dan jajanan lainnya. Dari warung kecil itulah, dia dan keluarganya menggantungkan harapan. “Seperti ini istri saya jualan makanan anak-anak kayak ciki, cireng, baso goring dan lain-lainnya. Lumayan lah penghasilannya buat jajan anak kami sehari-hari,” ujar ayah dari empat anak tersebut. Sebelum menjadi penjaga parkir, Iyan sebenarnya bisa dikatakan sebagai pahlawan Pesik Kuningan. Di tahun 2004, dia sukses membawa Pesik menembus Divisi I Liga Indonesia. Usai menjadi salah satu sosok tonggak keberhasilan Pesik, Iyan pun menjadi pelatih kiper Pesik. “Mulai 2005 saya menjadi pelatih sekaligus pemain Pesik. Saya juga menjadi pelatih Pra PON Jabar di tahun 2011 dan tahun 2012 melatih pra kualifikasi PON,” paparnya. Tapi setelah tak dipakai lagi oleh manajemen Pesik, Iyan akhirnya berputar haluan menjadi petugas parkir dengan penghasilan pas-pasan, demi anak dan istrinya bisa makan. “Saya hanya berharap ada perhatian dari pemerintah saja. Terutama pekerjaan tetap untuk menafkahi keluarga,” ucapnya. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: