Para Terdakwa Minta Bebas

Para Terdakwa Minta Bebas

CIREBON - Setelah tertunda cukup lama, akhirnya sidang APBD Gate dengan terdakwa Ir H Haries Sutamin cs, digelar di Pengadilan Negeri (PN) Kota Cirebon, kemarin. Sidang dengan agenda mendengarkan pledoi ini dibacakan secara bergantian dari tim penasehat hukum yang diketuai Waode Nur Zaenab SH serta masing-masing terdakwa yang terdiri dari Ir H Haries Sutamin, Ir Setiawan, Ir H Wawan Wanija, H Toha B Ana, Drs H Dahrin Sahrir, Drs H Ade Anwar Sham, Iing Sodikin SE dan Citoni juga membacakan pledoi secara pribadi. Sidang dipimpin majelis hakim yang diketuai Samir Erdy SH MHum dan hakim anggota Agnes Harinugraheni SH dan Achmad Rifai SH MH. Haries Sutamin saat membacakan pledoinya mengucapkan terima kasih ke berbagai pihak sehingga proses persidangan berjalan dengan baik dan lancar. Menurut Haries, sejak awal munculnya kasus APBD Gate, terlihat sangat tendensius. “Tugas saya di pengadilan saat ini ingin mencari keadilan dan kebenaran yang hakiki. Mohon terdakwa dibebaskan dari semua dakwaan,” tegasnya. Sementara itu, Setiawan dalam pledoinya menegaskan, pledoi yang dibacakan di depan majelis hakim bukanlah pembelaan yang membabi buta, akan tetapi ingin mencari kebenaran. Apalagi APBD Gate adalah perkara yang menarik bagi publik dan media massa, akan tetapi sejak awal muncul lebih kental muatan politisnya. “Selama menjadi anggota dewan, kami bekerja sesuai prosedur,” kata Setiawan. Sambil menangis, Setiawan juga meminta maaf kepada keluarga serta orangtuanya, karena sejak awal persoalan ini muncul hingga sekarang, menjadi beban berat  bagi mereka yang harus dipikul. Padahal dirinya merasa tidak bersalah, dan selama bertugas menjadi wakil rakyat bekerja sesuai prosedur yang berlaku. Wawan Wanija dalam pledoinya juga menilai persoalan APBD Gate hanyalah akal-akalan dari kepentingan segelintir orang. Setahun di pengadilan, Wawan menuntut keadilan dan merasa tidak bersalah. Penasehat hukum terdakwa, Waode Nur Zaenab menilai terdakwa Haries Sutamin dan kawan-kawan tidak terbukti melakukan tindak pidana korupsi yang menyebabkan kerugian negara. Untuk itu, dirinya meminta kepada pengadilan agar membebaskan  terdakwa dari semua dakwaan, baik dakwaan primer dan subsider. Waode juga mencatat minimal ada sembilan kesalahan yang dilakukan JPU dalam tuntutannya. Pertama, JPU telah melanggar azas legalitas, yakni JPU salah menggunakan PP 24/2004 tentang kedudukan protokoler, keuangan, pimpinan DPRD. JPU berupaya menuntut para terdakwa dengan PP tersebut, padahal PP itu terbit pada 28 Agustus 2004, sementara para terdakwa sejak 11 Agustus 2004 sudah selesai menjabat. Belum lagi, menurutnya, anggaran dewan diatur pada Perda No 3 dan Perda Perubahan No 9 tahun 2004. JPU mendasarkan pada Tatib DPRD No 21/2004, yang mana tatib tersebut berlaku untuk anggota dewan 2004-2009. Kemudian JPU juga dalam tuntutannya kepada para terdakwa menggunakan Surat Edaran (SE) Mendagri 161/2003 yang merujuk pada UU No 2003 pasal 109. Padahal, saksi ahli yakni Prof DR I Gede Pandja Astawa dan DR Dewi Kania saat dihadirkan dalam persidangan menyebutkan, SE bukan produk hukum. Kedua, JPU dalam menerapkan hukum Keppres 80/2003 tentang pengadaan barang dan jasa instansi pemerintah. ”Kesalahan JPU terletak dalam memahami anggaran belanja barang dan jasa, dimaknai dengan pengadaan,”  tukas Waode. Ketiga,  menurut Waode, salah penerapan hukum PP 105/2000 tentang pengelolaan dan pertanggungjawaban daerah. Yakni pedoman pengurusan, pertanggungjawaban, pengawasan, dan tata cara penyusunan keuangan daerah. ”Karena kalau hal itu domainnya eksekutif,” ujarnya. Keempat, JPU dalam surat dakwaannya mengacu pada Perda 4 dan 9 Tahun 2004, tapi salahnya JPU tidak diperiksa Perda No 2 Tahun 2005. Kelima, JPU telah memanipulasi fakta persidangan. Yakni soal SE Mendagri yang menurut keterangan saksi ahli bukan produk hukum, tapi JPU menyatakan sebaliknya. Dan JPU menyatakan para dewan (terdakwa) tidak ada bukti LPJ dalam setiap anggaran. Keenam, tuntutan JPU berkiblat pada hasil audit BPKP. Sementara kata saksi ahli auditor hasil audit BPKP dinyatakan invalid, saksi ahli hukum, null en void. Ketujuh, JPU kurang memahami dalam pengertian biaya penunjang operasional (BPO). Kedelapan, terkait dengan biaya bantuan hukum, reses, tunjangan kesejahteraan yang merupakan hak anggota dewan pada APBD I, sementara JPU hanya merujuk pada Perda perubahan. Kesembilan, JPU dalam menerapkan pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHap, pasal penyertaan kepada para terdakwa. Yakni sebagai orang yang melakukan, menyuruh melakukan, turut melakukan, dan membujuk untuk melakukan tindak pidana. “JPU harus menguraikan dan membuktikan pasal tersebut. Sehingga kalau tidak terbukti, tidak ada kata lain para terdakwa harus bebas,” pungkasnya. (abd/hsn)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: