Hayati Nilai Kasundaan

Hayati Nilai Kasundaan

Senyum tipis keluar dari bibir Anis Puspita Sari, siswi SMK Negeri 4 Kuningan kelas XI, Jurusan Administrasi Perkantoran, ketika disapa. Keramahannya memberikan daya magnet tersendiri dari dara belia yang kini tengah menekuni pengetahuan “kepribadian” di Daun Hijau pimpinan N Khazanah. Sikap dan tutur katanya tampak lebih matang dibandingkan usianya yang baru menginjak 16 Tahun. Ketika ditemui Radar, belum lama ini Anis banyak bercerita mengenai profil dirinya. “Mengembangkan kepribadian merupakan fitrah manusia khususnya perempuan. Perempuan diwajibkan memiliki karakter unggul dalam menghadapi persaingan global baik dari aspek kebudayaan, pengetahuan dan teknologi informasi (TI),” ungkap Anis. Anis berpendapat, perempuan pada akhirnya menjadi benteng terakhir sebuah peradaban. Karena perempuan kelak akan memberikan pengajaran kepada keturunan dengan metode ajar seperti apa? Apakah liberalisme, sosialisme atau berdasarkan nilai-nilai ketimuran yang merupakan warisan budaya secara turun temurun. Diterangkannya, lingkungan barat, mengajarkan tentang kesamaan gender dengan sistem liberal atau keterbukaan yang sama antara lelaki dan perempuan dalam hak. Begitu pula, hak perempuan dalam sistem sosialis yang sama rata dan sama rasa tanpa kodrat. Sedangkan adat ketimuran, perempuan dalam posisi di bawah lelaki. “Perempuan pada dasarnya memiliki hak sama dengan kaum lelaki. Namun, kodratnya mampu meletakkan di mana lelaki dan di mana perempuan. Maksudnya, bahwa pilosofi lelaki ada sebelah kanan, mengandung makna melindungi perempuan dari kelemahan yang tidak bisa diatasi kaumnya sendiri,” tuturnya. Pemahaman seperti itu, tutur Anis, harus disadari dan dijadikan modal dasar untuk melangkah di masa depan. Kesadaran akan tumbuh apabila perempuan mampu mengenali potensi yang dimiliki dan mengeskplorasi menjadi keunggulan. Karena pada prinsipnya, keunggulan perempuan akan terlihat dari budi pekertinya. Budi pekerti akan mencerminkan kepribadian bangsa Indonesia yang menghayati kebhinekatunggalikaan yang merupakan falsafah dari Pancasila. Hal itu sesuai dengan warisan nenek moyang perlu diketahui dan didalami sejak usia dini. Pengetahuan itu dapat diterapkan dengan tanpa hanya dalam tataran teoritis dan pragmatis. “Berbicara konteks kebhinekatunggalikaan, tentunya saya pribadi akan lebih mendalami nilai-nilai keadiluhungan kasundaan. Sebab secara geografis dan kultur yang diajarkan sejak dini adalah kasundaan. Ketika didalami ternyata, nilai-nilainya lebih jembar (luas, red) sehingga perlu keseriusan dalam menggalinya,” papar Anis. Nilai-nilai kasundaan harus tumbuh dan berkembang serta menjadi identitas masyarakatnya dengan mementingkah pola laku yang nyata. Hal itu sesuai dengan landasan idiil yang termaktub dalam UUD 45. Yakni, puncak-puncak kebudayaan nasional merupakan puncak kebudayaan daerah. “Komitmen nasional saja sudah menggambarkan bahwa kebudayaan daerah dalam hal ini kasundaan harus digali dan dilestarikan. Cara sederhana dari perempuan untuk mengejawantahkan pelestariannya, melalui pengembangan budi pekerti,” ungkap Anis. Anis pun memberikan contoh, budi pekerti kasundaan yang harus menjadi ciri khas perempuan Sunda. Seperti bertutur kata lemah lembut, penuh kasih sayang meski harus menahan emosi yang menggelegak. Kemudian cara berjalan yang pasemon marahmay (raut wajah berseri-seri). Menurutnya, setiap rengkak paripolah (tingkah laku) perempuan tidak jalingkak (bergaya lelaki) harus penuh kasih sayang sesuai kodratnya. Maksudnya, menempatan diri dalam posisi apa pun sesuai kodratnya. Memperlakukan perempuan sebagai perempuan, begitu pun terhadap lelaki, anak-anak, dan orang yang lebih tua. (mus)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: