Foskawal-MUI Pasang Badan

Foskawal-MUI Pasang Badan

***Perda Mihol Nol Persen Sudah Final, Jangan Diubah KESAMBI- Rencana revisi perda tentang pelarangan minuman berakohol (mihol) hingga nol persen sulit terwujud. Perda ini sudah final, dan jangan diubah-ubah lagi. Reaksi penolakan itu datang dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Cirebon dan Forum Silaturahmi Kota Wali (Foskawal). \"MUI Kota Cirebon bersikap akan melindungi perda mihol nol persen. Mihol merusak masyarakat, banyak kasus kematian karena meminum oplosan,\" tegas Ketua MUI Kota Cirebon Drs H Sholihin Uzer kepada Radar, Rabu (23/4). Ia mengatakan perda pelarangan mihol hingga nol persen di Kota Cirebon sudah final dan tidak bisa ditawar lagi. Itu karena perda tersebut sudah disetujui seluruh komponen masyarakat Kota Cirebon. MUI, lanjut Uzer, mendukung perda ini karena dilandasi dengan dasar Alquran. \"Dari segi manapun, miras tetap merusak masyarakat. Dari segi kesehatan, dari segi sosial, apalagi agama. Miras menjadi pangkal dari kejahatan, dan akan berdampak luas terhadap kejahatan lainnya,\" ucapnya. Masih kata Uzer, MUI Kota Cirebon akan melayangkan protes kepada DPRD Kota Cirebon jika sampai wacana revisi itu tetap didengungkan. Uzer pun tak sepakat dengan segelintir orang yang menganggap adanya perda tersebut mematikan usaha hotel dan hiburan di Kota Cirebon. Secara terpisah, Sekjen Foskawal Moh Ibnu Maiz menyesalkan pernyataan Wakil Ketua DPRD Kota Cirebon Edi Suripno soal keberadaan perda dengan aturan yang lebih tinggi. Surat dari kemendagri yang meminta perda ditinjau itu, sambung Ibnu Maiz, hanya ditujukan kepada wali kota sebagai kepala daerah. “Entah kenapa dewan yang mau mengubah perda itu kembali. Inisiator adanya perda ini kan dewan. Bukannya mempertahankan, malah mau mengubah lagi. Ini kan agak janggal,\" tukasnya. Pria yang akrab disapa Kang Maiz ini menambahkan, upaya perubahan perda itu tak akan mudah. Pasalnya, katang Kang Maiz, perda ini lahir atas hasil kesepakatan masyarakat yang sudah final dengan ditandatangani oleh wali kota, DPRD, OKP dan ormas, para pengurus DKM, dan tokoh ulama dan para habaib. “Bahkan perda itu sekarang sudah menjadi arsip negara, dan sudah dibuat dengan prosedur yang berlaku dengan sitem undang-undang. Juga sudah lolos uji materi di MA. Jadi mengubah ini tidak mudah,\" tegasnya saat dihubungi Radar, kemarin. Mengenai pengusaha yang tidak puas, Kang Maiz mengatakan itu merupakan konsekuansi yang harus diterima dari sebuah keputusan. “Risiko merupakan hal yang wajar dari sebuah keputusan. Hal ini demi menjaga anak bangsa dan generasi muda dari bahaya minuman keras. Akan tidak wajar, dan bahkan kurang ajar, jika demi hiburan dan miras, harus mengorbankan anak bangsa. Kami masyarkat Cirebon sepakat menegakkan dan mempertahankan perda ini dari ancaman orang-orang yang berkepentingan,\" tandasnya. Seperti diberitakan, Wakil Ketua DPRD Kota Cirebon Edi Suripno mengatakan pihaknya telah mengagendakan pertemuan dengan eksekutif untuk membahas permasalahan perda minuman beralkohol. Tanggal 5 Mei, kata Edi, pimpinan DPRD akan mengundang wali kota dan alat kelengkapan dewan lainnya untuk menindaklanjuti surat kementerian perdagangan dalam negeri (kemendagri) mengenai penyesuaian perda mihol. \"Nanti kita undang wali kota untuk tindak lanjut atas surat dari mendagri mengenai penyesuaian nomenklatur dan beberapa pasal di perda mihol,\" tuturnya. Setelah pertemuan tanggal 5, lanjut Edi, keesokan harinya badan legislasi (Banleg) DPRD Kota Cirebon bersama dengan bagian hukum akan merinci hal-hal apa yang harus disesuaikan dengan aturan yang ada. \"Kita tidak bisa melangkahi aturan yang lebih tinggi. Saya memang ngotot saat pembuatan perda ini untuk nol persen, tapi saat aturan yang lebih tinggi berkata lain, ya mau bagaimana lagi,\" bebernya. Dikatakan Edi, saat awal menyusun perda larangan minuman beralkohol, pihak legislatif bersama dengan eksekutif telah membuat kesepakatan. Penetapan nol persen minuman beralkohol dilakukan. Namun, saat lembaga vertikal mengisyaratkan ada ketentuan yang harus dievaluasi atau disesuaikan, pihak legislatif dan eksekutif harus menaatinya. \"Saat evaluasi gubernur, tidak ada evaluasi. Tapi tak lama kemudian kemendagri meminta ada penyesuaian. Ini yang harus diperhatikan. Nanti akan kita rumuskan, apakah perda itu harus dibuat ulang atau hanya disesuaikan,\" tukasnya. (jml)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: