Pengguna Air Tanah Wajib Bayar Pajak
Punya Potensi Besar, Pemkot Lakukan Pendataan CIREBON– Selama ini, pajak air tanah belum dapat dimaksimalkan. Sebab, tidak ada pendataan resmi untuk obyek pajak tersebut. Untuk itu, Bidang Sumber Daya Alam (SDA) DPUPESDM Kota Cirebon melakukan upaya pendataan obyek pajak air tanah di Kota Cirebon. Setelah mendapatkan data resmi, Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan Daerah (DPPKD) dipersilakan memungut pajak air tanah. Kepala Bidang SDA Dinas Pekerjaan Umum Energi dan Sumber Daya Mineral (DPUPESDM) Ir Syarif Arifin MM mengatakan pihaknya sudah mengirimkan surat kepada beberapa pengguna air tanah. Tujuannya, agar mereka mengetahui akan ada pendataan obyek pajak air tanah. Sebab, dalam waktu dekat SDA DPUPESDM akan melakukan pendataan pengguna pajak air tanah untuk mendapatkan pendapatan asli daerah (PAD) bagi Pemkot Cirebon. Sejauh ini, lanjut Syarif, pihak yang dikirimkan surat pemberitahuan memberikan respon positif. Seperti rumah sakit, pabrik, restoran, hotel, tempat cuci mobil dan tempat lainnya yang bersifat mendatangkan keuntungan bagi pemiliknya. Namun, khusus untuk fasilitas agama seperti masjid tidak dikenakan pajak air tanah. Begitupula untuk penggunaan air tanah bagi rumah warga tidak termasuk obyek pajak air tanah. “Sejak bulan lalu sudah saya buat surat tugasnya. Bulan ini berkirim surat pemberitahuan, bulan depan baru pendataan,” ujarnya kepada Radar, Jumat (25/4). Setelah didata, bidang SDA DPUPESDM akan memasang meteran untuk mengetahui penggunaan air. Hitungan ini mirip dengan yang dilakukan PDAM. Hanya saja, ujar Syarif, perbedaan ada pada asal air. Jika PDAM dari air pegunungan yang dibeli dari Pemerintah Kabupaten Kuningan, sementara pajak air tanah dari air asli tanah Kota Cirebon. Jika sudah dipasang meteran, akan diketahui jumlah air yang dipakai. Setelah itu baru ditentukan besaran nilai pajaknya oleh DPPKD. “Tugas kami sebatas melakukan pendataan obyek pajak air tanah saja,” terangnya. Sementara, Sekretaris DPPKD H Gatot Subroto SE MM mengatakan, pajak air tanah selama ini belum tergali optimal. Padahal, berdasarkan amanat Perda Nomor 1 tahun 2011 tentang Pajak Air Tanah, disebutkan dengan jelas obyek pajak tersebut. Selama tiga tahun berturut-turut sejak 2011, 2012, 2013, PAD dari sektor pajak air tanah selalu dibawah Rp50 juta. Padahal, target hanya Rp60 juta. “Potensinya besar sekali. Kami menunggu hasil pendataan dari bidang SDA DPUPESDM,” ucapnya kepada Radar, Jumat (25/4). Potensi pajak air tanah di Kota Cirebon sangat besar. Mengingat, sebagai kota perdagangan dan jasa, banyak segmen pemasukan yang hingga saat ini belum tereksploitasi. Pajak air tanah, lanjutnya, merupakan satu jenis pajak daerah penyumbang PAD. Namun, dari tahun ke tahun tidak juga menunjukan peningkatan. Padahal, potensi yang terlihat didepan mata sudah sangat terbuka. Obyek dari pajak air tanah diberikan kepada berbagai jenis usaha dan sejenisnya, yang dominan memanfaatkan air dari tanah. Secara aturan, ujar pria yang akrab disapa Gatsu ini, pemanfaat air tanah seperti hotel, restoran, pabrik, cuci mobil dan motor, seluruhnya harus membayar pajak air tanah. “Itu potensi besar. Tidak maksimal jika hanya dapat dibawah Rp50 juta setiap tahun,” tukas pria yang akrab disapa Gatsu itu. Satu jenis pajak daerah ini, menjadi konsen DPPKD dalam kurun waktu tahun 2014 berjalan. Pajak air tanah harus dikendalikan dengan pendataan dan kejelasan wajib pajak. Sebab, ujar Gatsu, jika tidak dikendalikan, lapisan bumi dan posisi tanah akan semakin turun dan membahayakan masyarakat Kota Cirebon. Salah satu gejala nyata, selain faktor alam dan teknis, permukaan tanah semakin turun mengakibatkan banjir menggenang di beberapa wilayah Kota Cirebon. “Jakarta saja, diprediksi akan amblas dalam 50 tahun kedepan. Itu akibat pembangunan yang berdiri di mana-mana tanpa memperhatikan lingkungan dan kondisi tanah,” paparnya. Secara geografis, Jakarta memiliki kemiripan dengan Kota Cirebon. Karena itu, langkah pengendalian dilakukan dengan pendataan dan penarikan pajak air tanah. Terlebih, kata Gatsu, bagi usaha yang berada di wilayah rawan atau daerah resapan air. Dalam aturan yang ada, dikenakan pajak lebih tinggi di banding lokasi usaha pada daerah bukan resapan air. “Ada panduan teknisnya. Perlu kesadaran masyarakat dan kami akan intensif sosialisasi,” tukasnya. Potensi PAD yang dikelola DPPKD, berasal dari pajak daerah yang terdiri dari 10 jenis pajak. Hal ini sesuai dengan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 3 tahun 2012 tentang Pajak Daerah. Di mana, 10 pajak daerah yang dimaksud yaitu BPHTB, PBB, penerangan jalan, restoran, hotel, hiburan, reklame, parkir, air tanah, dan sarang burung walet. Sedangkan, lima nama pertama berurutan merupakan penyumbang pemasukan pendapatan terbesar. “BPHTB paling besar. Hingga September 2013 saja, hampir Rp18,7 miliar,” terangnya. Untuk pajak air tanah, potensi pemasukan lebih sangat besar. Hal ini disadari menjadi PAD yang belum tergali optimal. Padahal, sebagai kota berkembang pesat dengan pertumbuhan perdagangan dan jasa, pajak air tanah sangat berpeluang memberikan kontribusi lebih untuk pemasukan asli daerah tersebut. “Selama ini dibawah Rp50 juta. Ini sangat kurang,” ucap Gatsu. Karena itu, dengan semangat perubahan, mulai tahun 2014 pihaknya melakukan pendataan dan penekanan kepada para wajib pajak yang memanfaatkan air tanah. Berdasarkan data yang dihimpun Radar Cirebon, realisasi PAD Kota Cirebon dari hasil pajak daerah air tanah hingga bulan September pada masing-masing tahun. Pada tahun 2011 hanya mencapai Rp48,3 juta, tahun 2012 mengalami penurunan menjadi Rp46,2 juta dan tahun 2013 mencapai Rp50,9 juta. “Semua targetnya Rp60 juta setiap tahun. Ini bisa meningkat lagi,” ujarnya. Bahkan, jika benar-benar digarap dengan serius dan konsen, pemasukan PAD dari pajak air tanah bisa mencapai miliaran. Namun, hal itu dilakukan secara bertahap. (ysf)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: