Kepala Daerah Tolak Pilkada Dipilih DPRD

Kepala Daerah Tolak Pilkada Dipilih DPRD

CIREBON - Pandangan partai politik atau fraksi pendukung pemilihan kepala daerah dipilih DPRD, terus mendapat perlawanan. Selain pengamat, dewan, maupun warga, para kepala daerah pun angkat bicara. Mayoritas kepala daerah di wilayah III Cirebon, menyatakan penolakan tegas rencana pilkada dipilih oleh anggota DPRD. Sikap tidak setuju disampaikan Bupati Cirebon Drs H Sunjaya Purwadisastra. Dia mengaku tidak sepakat jika pemilihan kepala daerah dipilih oleh DPRD. Baginya, meski baru rencana tapi kalau benar perubahan sistem demokrasi dilakukan, berarti Indonesia mengalami kemunduran. “Kenapa saya katakan demikian? Coba bayangkan saja, kita sudah jauh melesat dengan mengendarai mobil, tapi ketika dikembalikan ke zaman dulu, lah artinya kita naik sepeda lagi dong. Kalau sudah seperti ini, sama saja terjadi kemunduran dalam proses demokrasi,” ujar Sunjaya. Sunjaya tidak menampik kalau pilihan kepala daerah oleh DPRD sama saja perwakilan dari rakyat. Namun, pada hakikatnya masyarakat pun ingin secara utuh memilih pemimpin secara langsung tanpa keterwakilan. “Keterlibatan rakyat menentukan pimpinan atau kepala daerah dalam proses demokrasi sangat menentukan perubahan. Oleh karena itu, saya tetap mendukung pilkada langsung dan menolak pilkada yang dipilih DPRD,” ucapnya. Bupati yang diusung PDIP ini mengakui, proses demokrasi di Indonesia banyak terjadi penyelewengan dan pelanggaran-pelanggaran pemilu. Tapi tidak kemudian menutup hak politik rakyat dengan cara mengubah sistem demokrasi ke zaman dulu. “Jangan buang padi dan tanamannya, tapi buang hamanya agar kita tetap bisa menikmati hasilnya dengan enak,” terangnya. Senada, Bupati Kuningan Hj Utje Suganda menyebut Pilkada yang dipilih DPRD akan sangat mencederai hati masyarakat. Sekaligus menjadikan hubungan emosional pemimpin dan rakyatnya kaku. “Pilkada langsung sudah sangat baik. Sudah sesuai dengan kehendak rakyat, sangat amat demokratis. Kalau Pilkada oleh DPRD, jelas akan mencederai hati rakyat,” tegas Utje kepada Radar, di Pendopo Setda, Kamis (11/10). Utje mengaku merasakan bagaimana dipilih langsung oleh rakyat. Selain menjadi kebanggaan luar biasa secara pribadi, pun timbul tanggung jawab besar dari hati sanubari untuk selalu bekerja untuk rakyat. “Yang saya pikirkan rakyat, rakyat, rakyat. Sebab saya dipilih oleh rakyat,” tandasnya. Hubungan emosional pemimpin dengan rakyatnya secara psikologis juga akan terjadi lebih baik ketika pemimpinnya dipilih langsung oleh rakyat. Rakyat menjadi lebih leluasa menyampaikan uneg-uneg, atau apapun aspirasinya secara langsung kepada pemimpin karena pemimpinnya dipilih olehnya. Istri tercinta mantan Bupati Kuningan dua periode H Aang Hamid Suganda itu, membayangkan jika perempuan seperti dirinya yang merasa punya potensi, dedikasi, dan tanggung jawab besar untuk menyelesaikan apapun persoalan bangsa, terutama di daerah, tetapi ketika pilkada harus dipilih oleh Anggota DPRD, maka kesempatan itu bisa hilang. “Terbayang, kalau dipilih DPRD ketika itu, mungkin kesempatan saya sangat tipis. Tapi karena dipilih langsung oleh rakyat, rakyat bisa menilai siapa yang lebih laik,” katanya. Maka Utje ingin setiap pemimpin muncul hasil pilihan rakyat. Kembalikan kepada suara rakyat. Apalagi, siapapun mengenal pepatah bahwa suara rakyat itu adalah suara Tuhan. Untuk hal itu, dia mengaku telah mengutus Wakil Bupatinya H Acep Purnama untuk memenuhi undangan Asosiasi Pemerintahan Kabupaten Indonesia (Apkasi) menghadiri, sekaligus memberikan suara dalam pembahasan pengambilan keputusan sikap Apkasi atas RUU oleh DPRD, di Puri Agung Hotel Sahid Jakarta. “Tadi pagi, Pak Wabup berangkat ke sana (Apkasi, red). Hasilnya, Apkasi juga ternyata menolak RUU Pilkada oleh DPRD,” tutur Utje. Berbeda dengan Sunjaya dan Utje, Wali Kota Cirebon, Drs H Ano Sutrisno MM mengaku lebih condong pada pemilihan kepala daerah melalui anggota legislatif, ketimbang pemilihan langsung. “Kalau saya pribadi, lebih condong pada pemilihan melalui legislatif. Karena pemilihan tersebut tidak terlalu banyak menimbulkan gejolak,” ujarnya belum lama ini. Apalagi, bila dilihat di beberapa daerah di Indonesia, penyelenggaraan pemilihan langsung kerap kali menimbulkan konflik dan gejolak. Meskipun memang, diakui Ano, untuk Kota Cirebon, baik pemilihan secara langsung ataupun melalui DPRD, keduanya berjalan kondusif. “Tapi memang kalau dilihat di daerah lain, pemilihan langsung membuat sejumlah gejolak. Lebih rentan dengan gejolak,” tukasnya. Ano menjelaskan, baik pola pemilihan langsung ataupun pola pemilihan kepala daerah melalui DPRD, semua memiliki kelebihan dan kekurangan. Bila dilihat, pemilihan langsung memberikan banyak dampak sosial pada masyarakat. Sementara pemilihan melalui DPRD bisa menekan gejolak yang ada. “Menurut saya, alangkah lebih baik bila kita melihat kesiapan semua elemen. Termasuk juga masyarakat. Masyarakat harus siap bila tidak ada pemilihan langsung dan juga harus siap bila dilakukan pemilihan langsung,” tukasnya. Koran ini juga mencoba menghubungi Bupati Indramayu Hj Anna Sophanah untuk meminta komentarnya terkait RUU Pilkada, namun yang bersangkutan sedang kunjungan kerja ke Jakarta. Sementara Bupati Majalengka H Sutrisno SE MSi, belum bisa dimintai pendapatnya karena kepala daerah yang diusung PDIP itu mengikuti pertemuan Apkasi di Jakarta, untuk membahas sikap para kepala daerah terkait RUU Pilkada yang saat ini dibahas DPR. Sebelumnya, Wakil Bupati Majalengka Dr H Karna Sobahi MMPd menegaskan, dirinya tidak ambil pusing mengenai polemik rancangan undang-undang (RUU) tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Karna yang diproyeksikan bakal mencalonkan diri sebagai bupati di Pilkada Majalengka 2018, mengaku siap menghadapi apapun sistem Pilkada nanti. “Saya tidak condong kemana-kemana, yang jelas itu kan polemik antar elit di tingkat pusat. Bagi saya, kalaupun nanti mau jadi peserta Pilkada, sistem apapun, mau dipilih langsung oleh rakyat, saya sudah pengalaman dua kali. Mau dipilih oleh dewan saya juga siap,” ujar Karna. Menurutnya, sistem apapun yang diputuskan DPR-RI terkait RUU Pilkada, kedua-duanya mencerminkan proses demokrasi. Karena sistem keduanya adalah memilih pemimpin, bukan pemimpin yang ditunjuk. Dia juga tidak sepakat jika dalam sistem Pilkada langsung dipilih oleh rakyat, menimbulkan ongkos politik yang high cost. Karena pengalamannya menjadi peserta Pilkada berpasangan dengan Bupati H Sutrisno SE MSi, hanya menghabiskan cost politik yang murah meriah. “Tidak benar kalau pilkada langsung itu boros biaya. Kalau dari pengalaman saya dan Bupati ikut dua kali Pilkada langsung, ternyata bisa menghemat cost politik. Hanya di bawah lima M (Rp5 miliar). Bahkan di Pilkada yang pertama cuma di bawah empat M (Rp4 miliar),” paparnya. Sementara itu, para kepala daerah yang tergabung dalam asosiasi pemerintah kabupaten (Apkasi) dan pemerintah kota (Apeksi) juga menyatakan mendukung sistem pemilihan pilkada langsung, dan menolak sistem pemilihan DPRD. Pernyataan penolakan terhadap sistem pemilihan tidak langsung itu setelah Apkasi dan Apeksi melakukan rapat koordinasi bersama menyikapi perkembangan pembahasan Rancangan Undang Undang Pilkada di Grand Sahid Hotel, Jakarta, kemarin (11/9). Mewakili lebih dari 500 kepala daerah, sebanyak 46 bupati, 11 walikota, 23 wakil bupati dan lima wakil walikota hadir dalam pertemuan tersebut. Ketua Umum Apkasi Isran Noor menyatakan, hasil rapat koordinasi menghasilkan enam poin keputusan. Poin pertama adalah sikap Apkasi dan Apeksi yang menyatakan mendukung agar pelaksanaan pilkada langsung tetap menjadi aturan main dalam RUU Pilkada. \"Kami menolak pemilihan kepala daerah dikembalikan kepada DPRD,\" ujar Isran dalam pernyataannya. Menurut Isran, kekhawatiran bahwa sistem pilkada langsung memunculkan praktik politik uang, biaya mahal, dan potensi konfilk horizontal sudah memiliki solusi. Untuk mengurangi biaya mahal dan munculnya konflik horizontal, pilkada bisa dilakukan secara serentak. Pilkada serentak ini bisa dilaksanakan secara nasional, ataupun secara regional di satu provinsi terlebih dahulu. \"Rakyat tidak ingin hak itu diambil oleh parpol,\" kata Bupati Kutai Timur itu. Isran juga menyatakan sikap tidak terima, terkait pernyataan bahwa pilkada langsung memunculkan praktik korupsi. Menurut dia, sampai saat ini tidak ada bukti-bukti di pengadilan yang mengaitkan itu dengan pilkada langsung. Justru, korupsi yang massif justru terjadi di pemerintahan dan anggota dewan yang berada di tingkat pusat. \"Di Jakarta banyak korupsi besar, apakah karena pilkada langsung? Tidak kan. Itu hanya kesimpulan yang lebay, berlebihan,\" ujar mantan bakal capres peserta Konvensi Rakyat itu. Di tempat yang sama, Ketua Umum Apeksi Vicky Lumentut menegaskan pernyataan Isran. Menurut dia, Apeksi sudah sebanyak tiga kali melakukan rakor dengan mengagendakan tema yang sama. Jawaban dari Apeksi tetap sama, yakni menolak pelaksanaan pilkada oleh DPRD. \"Semangat teman-teman tetap sama, bahwa kami menolak kalau pilkada walikota dan bupati yang sudah bagus dipilih rakyat dikembalikan ke DPRD,\" ujar pria yang menjadi walikota dari bendera Partai Demokrat itu. (sam/tat/kmg/azs)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: