Soal Mobdin, Ketua DPRD dan Mahasiswa Nyaris Adu Jotos
POLEMIK mobdin untuk muspida plus membuat puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Gemsos Kota Cirebon meluruk balai kota dan DPRD, kemarin (11/9). Dalam aksi itu, mahasiswa mempertanyakan dasar yang diambil Wali Kota Cirebon Drs Ano Sutrisno MM memberikan mobdin kepada muspida plus. Menurut mahasiswa, muspida plus sudah mendapatkan fasilitas mobil operasional yang bersumber dari APBN. Aksi tersebut diwarnai dengan bakar ban di depan kantor balai kota. Suasana sempat memanas saat petugas internal berusaha mematikan kobaran api dengan menyiram ban dengan air. Suasana semakin memanas setelah salah seorang mahasiswa menendang pagar balai kota lantaran tidak terima dengan upaya pemadaman api tersebut. Para mahasiswa dan petugas balai kota sempat bersitegang dan beradu argumen. Setelah berorasi sekitar hampir setengah jam, tidak ada satupun perwakilan dari pemerintah kota yang menemui massa Gemsos. Akhirnya massa pun bergeser ke kantor DPRD Kota Cirebon. Sempat menunggu sekitar satu jam, mahasiswa itu ditemui oleh Ketua Sementara DPRD Kota Cirebon, Edi Suripno SIP MSi. Namun merasa masih kurang puas, mahasiswa pun meminta Edi agar hadir bersama dengan anggota DPRD lainnya. Setelah dipanggil, Edi akhirnya ditemani oleh sekitar 6 orang anggota DPRD. Koordinator aksi, Erlangga, mengatakan, lembaga legislatif sudah lalai dalam menjalankan fungsi kontrol. Mengingat, pengadaan mobdin untuk muspida plus itu tidak terdapat dalam APBD-P 2014 dan pengadaannnya pun tak sesuai dengan pos mata anggaran yang tertera. “Artinya, pemerintah kota Cirebon di sini diduga telah menyalahgunakan wewenangnya karena membelanjakan barang yang tidak sesuai dengan pos mata anggaran yang ada. Yang semula untuk membeli bus, kini dibelanjakan untuk membeli mobil muspida,” bebernya. Menanggapi pertanyaan-pertanyaan dari mahasiswa, Edi Suripno menjelaskan dalam pembahasan APBD Perubahan, wali kota Cirebon mengajukan anggaran mobil dinas di lingkungan Pemerintah Kota Cirebon. Di mana dalam anggaran tersebut, wali kota mengajukan 2 unit kendaraan untuk kepala daerah dengan nilai Rp1 miliar, 3 unit kendaraan untuk pimpinan DPRD sebesar Rp1,5 miliar dan bus pemerintah kota Cirebon seharga Rp1 miliar. “Di situ juga ada pengajuan untuk eselon dua, sebesar x rupiah, saya lupa nominal pastinya berapa,” tuturnya. Namun dalam perjalanannya, kata Edi, terdapat efisiensi anggaran, di mana untuk pembelian dua unit kendaraan untuk kepala daerah hanya menelan sekitar Rp800 juta, dan untuk tiga unit kendaraan pimpinan DPRD hanya menelan Rp900 juta. “Ada efisiensi anggaran, dari kendaraan kepala daerah sekitar Rp200 juta, dari kendaraan pimpinan DPRD sekitar Rp600 juta,” lanjutnya. Untuk bus pemkot sendiri, karena dianggap masih layak, maka pembelian bus ditunda hingga tahun depan. Maka, lanjut Edi, ada anggaran yang tidak digunakan sekitar Rp1,8 miliar. “Pembelian mobil muspida ini karena ada efisiensi dari penelitian DPA. Akhirnya, di nomenklatur anggaran yang sama, Pak Wali Kota mengajukan lagi karena ada anggaran lebih yaitu untuk pimpinan daerah lainnya (muspida plus, red),” bebernya. Alasan wali kota kala itu, aku Edi, lantaran kondisi mobil operasional para unsur muspida plus sudah kurang layak. Rata-rata, mobil yang digunakan oleh unsur muspida plus sekitar tahun 2003. “Ya sudah akhirnya kami setujui, dan ini diketahui oleh pimpinan DPRD, diketahui oleh Pak Yuliarso sebagai ketua, saya sebagai wakil, dan Pak almarhum Ajat sebagai wakil. Jadi siapa yang salah? Kedua belah pihak kan sudah menyepakati. Jadi bagian mana yang salah?” tukasnya. Pernyataan Edi tersebut sontak membuat mahasiswa terpancing emosi. Pasalnya, mahasiswa menganggap, pembelian mobil dinas untuk unsur muspida plus bukanlah kewajiban dari pemerintah kota atau pemerintah daerah. Karena, untuk muspida plus sudah mendapatkan anggaran yang bersumber dari APBN. “Ini kan sifatnya hanya pinjam pakai, jadi untuk pemeliharaan, bensin atau yang lainnya, itu menjadi tanggung jawab mereka (muspida plus, red). Tidak ada yang salah karena semua sudah disepakati,” lanjut Edi lagi. Seolah tak puas dengan jawaban dari Edi Suripno, para mahasiswa pun terus melontarkan pertanyaan-pertanyaan seputar mobdin muspida plus. Edi Suripno pun mulai terpancing emosi dan menaikan nada bicaranya. Suasana pun menjadi panas. Mahasiswa tidak terima dengan perlakuan Edi, sementara Edi pun merasa para mahasiswa memaksakan kehendaknya untuk mencari informasi. Petugas keamanan mencoba menenangkan massa mahasiswa. Suasana sempat menegang lantaran sempat terjadi adu mulut antara Edi Suripno dan mahasiswa. Untuk tidak memperkeruh suasana, para anggota DPRD Kota Cirebon lainnya bersama dengan aparat mencoba membawa Edi masuk ke Griya Sawala. Ketika suasana sudah mulai tenang, Edi akhirnya kembali menghadapi mahasiswa. Dan lagi, suasana kembali panas saat mahasiswa meminta buku APBD Kota Cirebon, sementara Edi tidak berjanji bisa memberikannya. Namun suasana tersebut tidak berlangsung lama. Menyadari suasana yang panas tersebut, Edi pun akhirnya menutup pertemuan tersebut dan akhirnya masuk ke Griya Sawala. Sempat merasa tidak puas, massa pun akhirnya perlahan membubarkan diri. (kmg)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: