Pejabat Curhat Tak Punya Mobdin

Pejabat Curhat Tak Punya Mobdin

KEJAKSAN- Hibah mobil dinas (mobdin) oleh wali kota kepada jajaran muspida plus, lalu disusul pemberian mobdin baru kepada muspida plus jenis Nissan X-Trail, tampaknya terus disoal. Tidak sedikit pejabat eselon di jajaran Pemkot Cirebon yang ‘cemburu’ dengan adanya pengadaan mobdin untuk instansi-instansi vertikal tersebut. Pantauan Radar di beberapa organisasi perangkat daerah (OPD), beberapa pejabat eselon, khususnya eselon III, masih banyak yang tak mendapatkan mobdin. Padahal secara aturan mereka memiliki hak untuk mendapatkan jatah mobdin. “Sekarang paling hanya bisa pinjam mobil operasional. Itu pun mobilnya sudah berumur,” ujar salah satu pejabat kepada Radar. Beberapa kali mengusulkan anggaran pengadaan mobdin, sambung pejabat yang enggan namanya dikorankan itu, selalu dicoret oleh tim anggaran dengan dalih masih banyak mobil. “Tapi ya tidak apa-apa sih. Enakan pakai mobil pribadi, tidak ada sorotan. Beda kalau menggunakan mobdin, pasti ke manapun selalu menjadi sorotan publik seperti sekarang ini,” cerita pejabat itu. MASIH TUAI KRITIKAN Kritik atas pengadaan mobdin ini kembali disampaikan Gerakan Mahasiswa Sosial (Gemsos) Cirebon. Mereka menyebutkan pengadaan mobdin untuk muspida hanya berdasarkan kesepakatan antara eksekutif dan pimpinan dewan dan tak berdasarkan aturan dan mekanisme yang jelas sesuai sehingga dokumen pelaksanaan anggaran (DPA) mobdin tidak sesuai dengan APBD-P 2014 yang telah ditetapkan. Hal itu diutarakan oleh Humas Gemsos Cirebon, Gusak Tilas Wangi, Minggu (14/9). \"Pemkot dan DPRD sudah mengakui ada perubahan pada mata anggaran untuk mobdin, dan itu dilakukan tanpa dasar hukum yang jelas. Artinya ada indikasi persengkokolan di sana,\" sebut Gusak. Alasan pemkot mengadakan mobdin untuk muspida agar menjalin kemitraan dengan unsur pimpinan daerah dinilai tidak sesuai dengan aturan. Padahal berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik negara/Daerah dalam Pasal 23 ayat 1 menjelaskan bahwa Pinjam Pakai Barang milik Negara/Daerah hanya dilaksanakan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah atau antara pemerintah daerah. \"Negara ini dibentuk berdasarkan hukum, hukumnya sudah ada, produk hukumnya ada. Tetapi kenapa kebijakan pengadaan mobdin hanya didasarkan kesepakatan,\" ujarnya. Maka dari itu, ia menilai Pemkot Cirebon terindikasi telah melakukan penyalahgunaan wewenang yang tertera dalam UU No 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Di lain tempat, akademisi Unswagati Sigit SH MH mengatakan persoalan mobdin untuk muspida hampir di setiap daerah selalu bergejolak, bahkan cenderung memunculkan dugaan dugaan yang mengarah pada perbuatan melawan hukum. Sigit mempertanyakan aturan yang dipakai wali kota sehingga menyebutkan pembelian mobdin untuk muspida plus itu dianggap tidak ada masalah. “Itu (wali kota, red) pakai aturan yang mana,” tanya Sigit. Sigit juga melihat persoalan ini dalam bingkai gratifikasi. Dikatakan, kualifikasi dalam pemberian atau kategori gratifikasi yang diatur dalam UU Tindak Pidana Korupsi dalam penjelasan pasal 12 b UU No 20/2001 disebutkan bahwa pemberian dalam arti luas yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan dan lainnya sebagaimana yang dimaksud dalam ketentuan tersebut dapat dikatagorikan gratifikasi. “Jika dalam pemberian gratifikasi tersebut cenderung pada sebuah kepentingan atas jabatannya yang bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan kewajiban dan tugasnya, maka bisa dikatagorikan perbuatan suap,” tegasnya. Bagaimanapun juga, menurut Sigit, pemberian tersebut dapat mempengaruhi pelaksanaan kewajiban yang harus dijalankan. Hanya dalam hal ini alangkah lebih bijak penerima atau pemberi meminta petunjuk atau saran kepada KPK untuk dianalisa lebih lanjut perihal pemberian mobdin tersebut. Tujuannya supaya tidak menjadi permasalahan di kemudian hari. Sedangkan Pengurus DPD KNPI Kota Cirebon Bidang Hukum dan HAM, Faozan TZ SH menjelaskan perda adalah salah satu dasar hukum dari perundang- undangan. Perda APBD Perubahan 2014 adalah dasar pemkot atas pendapatan dan belanja daerah. Untuk itu, kata Faozan, belanja daerah yang dilakukan pemkot harus sesuai APBD Perubahan 2014. Begitu juga DPA, harus sesui dengan APBD tersebut. Apabila DPA tidak sesuai dengan APBD, maka DPA tersebut cacat Hukum karena bertentangan dengan PP No 58/2005. Apabila wali kota yang membelanjakan tidak sesuai dengan APBD Perubahan, maka wali kota harus bertanggung jawab selaku pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah. Perbuatan itu, kata Faozan, bisa memenuhi unsur tindak pidana korupsi sebagaimana diatur Pasal 3 UU No 20/2001. (abd)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: