Pemerintah Tidak Mau Intervensi Kisruh DPR
Diimbau Bermusyawarah, Pemilihan Calon Pimpinan KPK Terkendala JAKARTA - Pemerintah, dalam hal ini Presiden Joko Widodo, tidak akan serta merta ikut turun tangan mencari jalan keluar atas kerumitan di parlemen. Meski siap, pemerintah memilih untuk lebih dulu mempercayakan internal DPR untuk menyelesaikan sendiri persoalan yang mereka hadapi. Wakil Presiden Jusuf Kalla mendorong agar pihak-pihak, baik di fraksi-fraksi di Koalisi Indonesia Hebat (KIH) maupun di Koalisi Merah Putih (KMP), bermusyawarah. ”Sementara ini teman-teman berusaha musyawarah dulu,” kata JK di sela menghadiri pembukaan Munas Alim Ulama dan Konbes NU, di gedung PB NU, Jl Kramat Raya, Jakarta, kemarin (1/11). JK kemudian memberikan tenggat setidaknya hingga seminggu ke depan untuk proses musyawarah tersebut. ”Kalau tidak, tentu pemimpin negara harus ikut serta,” imbuh mantan wapres di era periode pertama Presiden SBY tersebut. Disinggung mengenai pihak mana yang harus memulai, JK menyatakan kalau kedua belah pihak yang harus saling membuka diri. Menurut dia, tidak boleh ada pihak yang merasa paling benar dalam persoalan krisis dualisme kepemimpinan DPR saat ini. Dia menyatakan, kalau persoalan pihak mana yang paling kuat secara dasar hukum hanya masalah sudut pandang. ”Prinsipnya, kami tidak mengharapkan ada tandingan-tandingan, tentu semua harus dimusyawarahkan,” dorongnya kembali. Di tempat yang sama, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo juga berpandangan kalau dualisme kepemimpinan di parlemen, biarlah diselesaikan dulu oleh internal DPR sendiri. Politisi PDIP itu menilai, munculnya DPR tandingan belum terlalu banyak berpengaruh pada jalannya pemerintahan saat ini. Karena itu pula, menurut dia, harapan sejumlah pihak agar Presiden Joko Widodo segera ikut turun tangan belum menjadi sesuatu yang mendesak. ”Saya rasa anggota DPR terdiri dari para politisi hebat-hebat, biar saja mereka selesaikan sendiri dulu,” kata Tjahjo. Dia memastikan, program-program pemerintah akan tetap bisa berjalan sebagaimana mestinya, meski ada dualisme kepemimimpinan di parlemen,. ”Pemerintah jalan terus, enggak masalah,” imbuh mantan sekjen PDIP tersebut. Sejumlah pihak yang menganggap Presiden Jokowi perlu turun tangan karena yakin kalau krisis dualisme kepemimpinan di parlemen akan berdampak luas bagi negara. Pasalnya, pemerintah dan DPR, mau tidak mau, harus banyak bekerjasama dalam menjalankan mekanisme bernegara. Salah satu agenda paling dekat terkait hal itu adalah pembahasan APBN perubahan. Pandangan itu salah satunya sempat disampaikan mantan menteri sekretaris negara (mensesneg) Yusril Ihza Mahendra. Presiden Jokowi tampaknya tidak mau ambil pusing dengan kisruh DPR. Presiden RI ketujuh itu pun tidak terlihat terganggu dengan polemik yang melibatkan kubu KIH dan KMP tersebut. Di akhir pekan, Jokowi masih disibukkan dengan aktivitas blusukannya. Menurut informasi yang beredar, Jokowi sempat melakukan inspeksi mendadak (sidak) ke sekitaran Monas. Jokowi meyakini, kedua kubu bisa menyelesaikan kisruh tersebut melalui musyawarah mufakat. Dia juga berharap, kedua kubu bersedia menjalin komunikasi sehingga keduanya bisa disatukan. “Saya sudah sampaikan, akan lebih baik kalau yang ada di dewan itu bersatu. Semuanya dimusyawarahkan sehingga tercapai kata sepakat. Dilihat oleh rakyat itu akan lebih baik (DPR bersatu,” ujarnya. Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Giri Ahmad Taufik menilai, munculnya DPR tandingan salah satunya berakar dari problem di internal Partai Persatuan Pembangunan. Kisruh internal PPP yang dipertontonkan dalam sidang paripurna DPR, memunculkan ketidakpuasan atas pembentukan Alat Kelengkapan Dewan (AKD) yang dibentuk Koalisi Merah Putih. ”Kalau untuk pimpinan DPR yang sah adalah yang dilantik awal (dilantik 2 Oktober 2014, red). Kalau untuk AKD ini masih memunculkan problem terkait kepastian hukum,” kata Giri saat dikonfirmasi, kemarin. Giri menilai, keputusan kubu KIH untuk membuat pimpinan tandingan adalah keputusan yang aneh dan lucu. DPR tandingan itu justru akan menghambat posisi pemerintahan Jokowi-JK, karena akan dipaksa untuk mengakui DPR mana yang akan diajak untuk membahas program. ”Persoalan ini dilematis, karena tidak mungkin DPR mengakui DPR tandingan. Tapi, kalau tidak mengakui, dia akan mendapat pertentangan dari kawan politiknya,” kata Giri. Giri menilai, dengan situasi saat ini, upaya kedua koalisi untuk melakukan rekonsiliasi sangat tipis. Mau tidak mau, Presiden harus bersikap agar sejumlah program kerjanya bisa berjalan atas izin DPR. Presiden dalam hal ini bisa menggunakan mekanisme UU nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. ”Sebelum mengambil keputusan, Presiden bisa berkonsultasi dengan MA untuk memberi masukan atas problem itu,” ujarnya. Isu yang dikonsultasikan Presiden bisa saja politis. Namun, kata Giri, ada nuansa hukum di balik itu, karena keabsahan AKD di DPR saat ini diragukan untuk bisa mengambil keputusan. PANSEL KPK Sementara, tidak kondusifnya suasana di internal DPR membuat KPK was-was dengan proses pemilihan calon ketua KPK pengganti Busyro Muqoddas. Meski dua nama Busyro Muqoddas dan analis hubungan internasional dan kebijakan Sekretariat Kabinet (Seskab) Robby Arya Barata sudah diserahkan, hingga kini belum juga dipastikan siapa yang dipilih. Jubir KPK Johan Budi SP berharap agar DPR segera menjalankan tugasnya untuk memilih calon pimpinan. Meski jabatan Busyro baru habis pada 10 Desember nanti, bukan berarti parlemen bisa bersantai. Jika dihitung-hitung, berarti waktu yang dimiliki untuk memilih pimpinan tinggal sebulan. ’’Kami berharap DPR yang sudah diberi nama, bisa melaksanakan tugasnya sesuai dengan yang diamanatkan undang-undang,’’ tuturnya. Seperti diketahui, dua nama itu sudah mengerucut setelah melalui berbagai tes yang dilakukan oleh Pansel Calon Pimpinan KPK melalui KemenkumHAM. Meski berharap cepat, Johan menyebut menyerahkan proses pemilihan sepenuhnya kepada DPR. Pihak tidak ikut campur termasuk pada gejolak yang muncul belakangan ini. Sebagai lembaga hukum, KPK tidak mau mencampuri urusan politik para anggota parlemen di Senayan. Sampai saat ini, komposisi pimpinan lanjut Johan Budi masih sangat solid. Busyro sendiri sebelumnya pernah mengatakan bakal bekerja keras untuk menyelesaikan pekerjaan yang tersisa. ’’Kita berharap secepatnya ada keputusan karena sudah bulan November,’’ ujarnya. Dikonfirmasi terpisah, Juru Bicara Pansel Capim KPK Imam Prasodjo berharap agar DPR tidak sampai melupakan tugasnya. Dia cuma bisa berharap saat ini karena Pansel tidak punya kewenangan untuk mendesak DPR agar segera menentukan pilihan. Secara teknis, pekerjaan Pansel memang saat ini sudah selesai. Kalau kondisi di internal DPR tidak berubah dan pengganti Busyro belum ditentukan, Imam menyebut giliran Jokowi yang perlu turun tangan. Peraturan Pengganti Perundangan (Perppu) bisa menjadi patokan untuk memilih pelaksana teknis pimpinan. ’’Mau nggak mau. Kalau DPR sudah normal, baru dilakukan pemilihan,’’ terangnya. (dyn/ken/bay/dim)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: