Murid Hanya Satu Orang, Ikatan Batin Seperti Anak Sendiri

Murid Hanya Satu Orang, Ikatan Batin Seperti Anak Sendiri

Melihat Lebih Dekat KBM SDN 3 Pakusamben Bangunan SDN 3 Pakusamben yang rusak parah dan tidak layak untuk mendukung kegiatan belajar mengajar (KBM) membuat jumlah siswa terus merosot. Bahkan, di kelas empat hanya dihuni satu siswa. Kelas lainnya tak jauh lebih baik, rata-rata siswa di setiap kelas tak lebih dari 20. DENY HAMDANI, Babakan SEPINTAS gedung SDN 3 Pakusamben Kecamatan Babakan mirip bangunan tua tak berpenghuni. Kerusakan di sana-sini dan lingkungan sekolah yang tidak terawat menjadi saksi belasan tahun sekolah di Kecamatan Babakan ini tak tersentuh perbaikan. Dari tujuh ruang yang ada, hanya tiga ruang saja yang dianggap layak untuk belajar siswa. Banyak masyarakat sekitar yang enggan menyekolahkan anaknya di SDN 3 Pakusamben karena kondisi fisik bangunan yang tak layak. Surutnya minat masyarakat menyekolahkan anaknya, membuat kelas IV SDN 3 Pakusamben hanya dihuni satu siswa yakni, Muhammad Aldi. Aldi sejak kelas satu hingga kini nyaris tak punya pesaing dalam prestasi di kelas. Sejak kelas satu, tentu saja Aldi selalu mendapat ”ranking satu” dari satu siswa. Aldi dibimbing guru kelasnya yang setia, Edi Yuhana. Edi menceritakan, sebenarnya ketika pembukaan pendaftaran angkatan Aldi, ada dua siswa yang mendaftar. Seiring berjalannya waktu, teman sebangku Aldi memilih pindah sekolah karena orang tuanya khawatir bangunan sekolah tiba-tiba ambruk. “Waktu kelas 1, 2, 3 angkatan Aldi masih berdua, tapi menjelang naik kelas empat ada siswa yang sekolahnya pindah. Mungkin karena tidak betah orang tuanya. Akhirnya kelas empat Aldi sendirian,” ujar Edi, saat berbincang dengan wartawan koran ini. Karena hanya berdua di dalam kelas, membuat ikatan batin antara Edi dan Aldi menjadi seperti anak dan orang tua. Apalagi, Edi sudah mengajar Aldi sejak kelas tiga. Setidaknya sudah dua tahun ini, Edi hanya mengajar satu orang siswa. Kendati demikian, Edi mengaku, tak merasa ada yang aneh. Walaupun siswanya hanya satu orang, tidak ada satu hal pun yang dikurangi. Sebagai seorang tenaga pengajar, dirinya tetap berupaya bersikap profesional. Saking dekatnya dengan Aldi, bila anak didiknya itu tak masuk sekolah, Edi bisanya langsung mendatangani rumahnya. Apalagi, kedua orang tua Aldi bekerja sebagai buruh tani dan seringkali kurang kontrol. Kadang, namanya anak-anak, Aldi seringkali membolos sekolah. Kalau sudah seperti ini, Edi terpaksa mendatangi rumah Aldi dan menjemputnya untuk ke sekolah. “Pernah Aldi tidak mau ke sekolah, setelah dibujuk dia mau ke sekolah kalau di kasih uang. Ya sudah, saya kasih uang dan Aldi akhirnya mau berangkat ke sekolah. Kalau Aldi sakit atau ada sesuatu pasti saya tahu,” katanya. Lantaran hanya punya satu siswa, Edi sering tak tega meninggalkan kelas berlama-lama. Pernah suatu ketika dirinya ada rapat di kecmatan, sepanjang rapat yang ada dibenaknya adalah bagaimana anak didiknya itu belajar. Sampai-sampai akhirnya Edi memilih tidak mengikuti rapat dan kembali ke sekolah. “Kondisi ini membuat saya menganggap Aldi itu seperti anak saya sendiri. Mudah-mudahan karena dia hanya sendiri di kelas, jadi pelajarannya juga bisa diserap lebih baik. Kekurangan gedung dan siswa, mudah-mudahan menjadi berkah buat pendidikan dia,” harapnya. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: