Pemerintah Perlu Hati-hati Beri Izin Hamas
JAKARTA - DPR telah memberikan sinyal positif atas niatan kelompok Harakat Al-Muqawama Al-Islamiyya (Hamas) untuk berkantor di Jakarta. Padahal seperti diketahui, Palestina telah memiliki perwakilan dalam bentuk Kedutaan Besar (Embassy) di Indonesia yang berkedudukan di Jakarta. Atas kondisi tersebut, pemerintah diminta berhati-hati dalam menyikapi hal ini. Pengamat hubungan internasional Hikmahanto Juwana mengatakan, sikap hati-hati itu ditujukan agar pemerintah Indonesia tidak terseret dalam perpecahan internal Palestina. Perpecahan ini dimaksudkannya pada adanya dua kelompok pemahaman berbeda terkait kemerdekaan Palestina. Yakni Fatah, yang dapat menerima kenyataan Israel sebagai negara berdampingan dengan Palestina merdeka, dan Hamas yang dalam memperjuangkan kemerdekaan Palestina tidak mengakui Israel. “Keputusan pemerintah akan menjadi sikap politik Internasional Indonesia. Dengan memperbolehkan hamas berkantor di Indonesia, dengan kata lain pemerintah setuju Israel dihilangkan. Padahal, untuk mendukung kemerdekaan mereka kita tidak perlu terseret dalam internal mereka,” urai Hikmahanto. Selain itu, lanjut dia, Pemerintah Palestina sendiri telah memiliki perwakilan dalam bentuk kedubes yang telah berkantor di Jakarta. Dengan disetujuinya pembukaan kantor Hamas ini maka akan menjadi tamparan tersendiri bagi pemerintah yang telah berkantor di Indonesia sebelumnya. Terlebih, saat ini pemerintahan Palestina sedang dalam kuasa pihak Fatah. Kondisi ini diibaratkannya seperti adanya dua kubu yang ada di Indonesia, yakni Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan Koalisi Merah Putih (KMP). “Coba bayangkan, kita sudah punya kedubes di Malaysia lalu tiba-tiba KMP minta buka kantor di sana dan disetujui. Bagaimana respons pemerintah kita. Karenanya, pemerintah harus berkonsultasi dengan duta besar Palestina untuk Indonesia agar jelas sikap pemerintah Palestina akan ide tersebut,” ungkap Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia itu. Kendati demikian, lanjut dia, Indonesia tetap harus menerapkan kebijakan satu Palestina (One Palestine Policy). Dengan demikian, siapapun pemernang pemilu Palestina selanjutnya Indonesia akan bekerja sama dengan baik. “Jadi siapapun diantara mereka yang menjadi penguasa yang sah maka di mata Indonesia merupakan pemerintah yang resmi,” ungkapnya. Hikmahanto pun menyarankan Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno Marsudi segera memberi penjelasan kepada penyelenggara negara bagaimana sikap Indonesia atas masalah Palestina. Tujuannya, agar penyelenggara negara mempunyai satu sikap dan persepsi tentang Palestina. Indonesia mengakui Palestina sebagai negara sejak 16 November 1988 di Aljazair. Pengakuan ini kemudian diwujudkan dalam Joint Communique dimulainya hubungan diplomatik antara Indonesia Palestina di tingkat Kedutaan Besar pada tanggal 19 Nopember 1989. (mia)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: