Blokade Pelabuhan, Dua Warga Terluka

Blokade Pelabuhan, Dua Warga Terluka

LEMAHWUNGKUK - Ratusan warga Pesisir masih nekat memblokade pintu Pelabuhan Cirebon. Aksi ini sudah dilakukan berulang kali. Dan kemarin termasuk salah satu aksi terlama. Atas demo itu, aktivitas di pelabuhan pun lumpuh. Kendaraan bermuatan batu bara tidak bisa masuk. Bahkan sebelumnya, warga juga menghentikan kendaraan truk tangki minyak yang ingin masuk pelabuhan. Namun, dengan lobi-lobi, warga pesisir akhirnya mau juga mempersilakan kendaraan berjalan, terkecuali truk batu bara. Dari hari Kamis (11/12) hingga Jumat (12/12) sore hari, warga masih siaga. Bentrokan sempat terjadi antara warga pesisir dan pasukan brimob. Sehingga memakan dua orang korban terluka atas nama Rakida dan Mono. Mereka menderita luka di bagian muka dan kepala, dan dilarikan ke Rumah Sakit Pelabuhan. Saniah (35), warga Pesisir, mengaku dirinya bersama warga Pesisir yang lain sudah tidak kuasa lagi menahan diri dari dampak batu bara. Uang kompensasi yang dijanjikan Pelindo, kata dia, bukan solusi. Terlebih dengan adanya sterilisasi pelabuhan. Mata pencaharian para pengorek batu bara pun teraancam hilang. Mereka pun mengancam akan terus memblokade pelabuhan hingga tuntutan mereka dipenuhi. “Intinya, kalau kita (warga Pesisir dan sekitarnya, red) tidak boleh beraktivitas seperti biasa di pelabuhan, maka lebih baik bongkar muat batu bara juga ditutup saja. Supaya sama-sama ditutup,” tukasnya. Hal ini selain karena mata pencaharian hilang. Lebih dari itu, dampak yang dirasakan dari batu bara semakin hari semakin dirasakan. Saniah mengaku, banyak warga yang mengidap penyakit gangguan pernapasan dan penglihatan, akibat debu batu bara. Bagaimana tidak, jarak antara rumah penduduk dan lokasi bongkar muat batu bara sudah semakin dekat. “Kalau ada angin pasti dampaknya kena mata kita jadi merah, pernafasan terganggu. Mereka bahkan sudah ada yang masuk rumah sakit,” terangnya. Sementara kompensasi pun hanya ala kadarnya, Rp50 ribu per orang untuk tiga bulan bagi warga yang sakit. Sedangkan yang meninggal dunia hanya Rp100 ribu. “Kita sebenarnya tidak butuh kompensasinya. Kalau kita tetap tidak boleh beraktivitas di sini, ya lebih baik ditutup saja sekalian,” tandasnya lagi. Warga lainnya, Adi (34) mengatakan sebenarnya yang terkena imbas dari bongkar muat batu bara adalah masyarakat sekitar, yakni Cangkol dan Pesisir. Sebelum sterilisasi, ada sebanyak 500-600 orang warga yang bekerja sebagai pengorek batu bara. Sebagain ada yang sudah direkrut menjadi petugas kebersihan, dan tenaga security. Namun tidak semua warga kebagian. “Kita mengharapkan kebijakan dari Pelindo. Intinya memang warga menuntut agar batu bara ditutup, karena mereka tidak lagi bisa beraktivitas di sana, jadi sama-sama ditutup,” tuntasnya. Terpisah, LSM Pemantau Kinerja Aparatur Negara (Penjara) Indonesia, Duddy J Sumarna kepada wartawan saat jumpa pers mengatakan, desakan penutupan pembong­karan batu bara oleh pihak tertentu, hanya untuk bargai­ning kepada pihak pelabuhan. Pasalnya, ada pihak-pihak yang selama ini menjadi pengepul batu bara yang merasa bisnisnya terancam jika tidak ada lagi gerandong. Apalagi menurut Duddy, dirinya mendengar dalam sehari pengepul batu bara itu bisa mendapatkan batu bara dari gerandong-gerandong mencapai 15 ton. Tentu saja ini angka fantastis. Padahal, cara memperoleh batu bara itu ada yang mendatangi tongkang di tengah lautan, meski belum bongkar muat di pelabuhan. “Penyelesaian persoalan ini sebenarnya bukan kepada gerandongnya, tetapi lebih kepada warga sekitar yang terkena dampak debu dari bongkar muat batu bara,” kata Duddy. Karena di pelabuhan itu, ada unsur pemerintahan dalam hal ini dipegang oleh Adpel atau KSOP selaku kesyahbandaran dan keusahaan dikendalikan PT Pelindo. Duddy berharap, otoritas pelabuhan melakukan tupoksinya dan tidak bernegosiasi terkait gerandong. “Memang mesti ada kewajiban CSR yang harus ditunaikan PT Pelindo terhadap warga sekitar pelabuhan, tapi warga jangan meminta yang bukan haknya. Begitu juga pengusaha batu baranya mesti tegas, jangan melakukan renegosiasi karena LSM Penjara akan bergerak,” ucapnya. Persoalan ini, masih kata Duddy, se­­benarnya akan ber­henti ke­­pada tingkat penge­pulnya. Kare­nanya, yang terpen­­­ting saat ba­gaimana cara pe­­nyelesaian on the track. Apa­­lagi mengambil batu bara di dalam pelabuhan itu meng­­gang­gu kegiatan bongkar muat. Yang membuatnya heran, mengapa untuk menyelesaikan 17 kelompok gerandong PT Pelindo tidak mampu, apalagi dari 17 kelompok gerandong, setiap kelompoknya terdiri 15-20 orang. “Kita ingin memantau kinerja aparatur negara khususnya di Kota Cirebon, tanpa terkecuali konsen atas persoalan batu bara di Pelabuhan Cirebon,” ungkap Agung Sentosa, ketua DPC LSM Penjara Kota Cirebon. (jml/abd)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: